Arsip untuk 17/07/2013

Seperti hari-hari biasanya ketika kita menjalankan aktifitas sehari-hari, jiwa selalu penuh kepulan semangat. Semangat karena kita memang mendapatkan energi yang cukup dan imbang dari makan dan minum berbagai makanan dan minuman yang bergizi. Namun ketika kita akan menghadapi bulan Ramadhan, semangat kita sedikit-banyak sudah mulai menurun. Itu karena dengan alasan tidak boleh makan dan tidak boleh minum. Sungguh manja!

Asumsi yang semacam ini memang merupakan naluri manusia yang tidak bisa dielakkan dari kehidupan. Karena manusia hidup identik dengan makan dan minum, tidak lebih dari itu. Bekerja hanya untuk hidup, belajar untuk hidup, dan berdoa hanya untuk hidup. Dengan datangnya bulan Ramadhan ini, semangat bekerja, beribadah, belajar, dan semacamnya tidak boleh dikurangi. Bahkan jika perlu dengan semangat keramadhanan, kegiatan itu harus lebih bermakna dan berkualitas.

Dengan kedatangan bulan Ramadhan mayoritas masyarakat menghabiskan waktu berpuasa hanya dengan tidur-tiduran saja. Mereka tidak seperti hari-hari biasanya, hari-hari mereka hanya kebanyakan diisi dengan banyak istirahat (tidur). Mereka berdalil dengan beralasan bahwa tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Tidur pagi hingga bangun sore, lebih nista bahkan kadang-kadang salat yang wajib dikerjakan semua ditinggal. Itu semua menyimpang dari ajaran-ajaran yang memang diajarkan dalam agama Islam. Semestinya sebagai umat Islam dalam melaksanakan ibadah puasa tidak banyak mengucapkan dali-dalil yang hanya untuk membela kepentingan pribadinya.

Memang diakui atau tidak, dalam menjalankan ibadah puasa, kita akan kehabisan tenaga dan semangat. Tenaga dan semangat memudar akibat terlalu banyak aktifitas yang kita lakukan tanpa ada asupan dari mulut. Namun, meskipuun demikian kita tidak harus meninggalkan aktifitas sebagaimana mestinya dalam kehidupan sehari-hari.

Kita bangun Ramadhan ini dengan semangat yang lebih membara dari hari-hari sebelumnya. Bulan yang penuh berkah dan rahmat sepantasnya kita menumbuhkan semangat baru dengan kegiatan-kegiatan yang positif yang layak kita lakukan dan mendatangkan manfaat bagi bangsa dan negara. Itu bisa dilakukan dengan menyadari betapa pentingnya hidup bersemangat meskipun kita dalam keadaan tidak makan dan tidak minum. Saatnya nafsu dibentengi dari berbagai sifat hewani lewat makna di balik puasa bulan Ramadhan.

Menghadapi bulan Ramadhan setidaknya kita memiliki kreatifitas-kreatifitas jitu yang baru dalam menempuh hidup seutuhnya dengan meningkatkan semangat hidup dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kreatif tidak berarti dengan hidup kenyang, akan tetapi hidup kreatif merupakan hidup yang bisa mendatangkan pemikiran dan aktifitas yang produktif demi menempuh kehidupan ini, Ramadhan bukanlah alasan untuk bermalas-malasan menjalani kehidupan untuk terus berkreasi.

Ramadhan untuk Semua

Istilahnya saja Ramadhan, bulan umat Islam yang beriman di seantero dunia untuk melaksanakan ibadah puasa yang telah digariskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183). Ramadhan dalam ayat tersebut tak lain merupakan suatu estafet bagi umat Islam dan umat manusia secara umum untuk berpuasa dan sebagai pegangan hidup untuk bertakwa. Yaitu menghindari segala larangan Tuhan (keburukan) dan melaksanakan segala perintahnya (kebaikan).

Istilah bertakwa bukan untuk kalangan muslim saja, namun untuk semua kalangan selain komunis bahkan secara tidak langsung komunis pun dianjurkan untuk bertakwa meski tak bertuhan. Takwa tak lain merupakan tameng manusia untuk melindungi dirinya dari kebejatan hidup yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Melalui puasa di bulan Ramadhan ini merupakan jalan menuju takwa itu dengan berpuasa. Banyak sekali renungan di balik puasa Ramadhan ini. Salah satunya berbagi dengan mereka yang tidak mampu yaitu pengeluaran zakat oleh mereka yang mampu.

Baik pejabat, konglomerat, kiai, presiden, dan para pegawai negara yang beraliran Islam harus memegang estafet keagamaan ini secara erat. Berpuasa dengan tujuan bertakwa, sama dengan menghindari tindakan amoral seperti tidak melakukan korupsi. Sejatinya takwa yang diajarkan pada bulan Ramadhan itu melarang umat manusia untuk berlaku korup. Yang mengherankan, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam menduduki level negara terkorup di Asia.

Bukan mereka tidak berpuasa ketika Ramadhan sehingga nilai ketakwaan takut dengan larangan Tuhan sirna begitu saja. Jangan menyalahkan puasa sebagaimana firman-Nya sebagai sarana menjadi manusia yang bertakwa. Namun, lihat sejauh mana mereka meniatkan puasa. Ini lagi tergantung niat yang dialunkan oleh suara hatinya. Jika niatnya benar, dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa nilai takwa dari puasa itu akan merasuk ke dalam hati tiap jiwa sebagai pencerah menuju sinar takwa.

Mari kita niatkan puasa sebagai sarana ibadah untuk mengharap rido ilahi. Sebagai sarana menggapai takwa guna menahan nafsu bejat yang bersemayam dalam hati setiap manusia. Jangan malasa untuk tidak takwa. Dengan takwa itu segala kerusakan kehidupan, baik sosial, pendidikan, berbangsa dan bernegara akan mudah diselesaikan. Yang lebih akut lagi, takwa akan memberikan tameng bagi manusia agar tidak korupsi dan melakukan tindakan amoral lainnya seperti pencabulan, bulliying hingga pemerkosaan yang terkadang sampai pada pembunuhan.

Puasa dan Kepedulian Sosial

Posted: 17/07/2013 in TAUSHIYAH

“Wahai manusia! Barang siapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan ia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu.”

Petikan di atas adalah sekilas cuplikan khutbah Nabi Muhammad menyambut datangnya bulan RamadHan. Khutbah Nabi mengajarkan agar umat Islam bisa berbagai dan peduli dengan sesamanya. Umat Islam seharusnya bisa membuang jauh egoisme (anaiyyah) yang seringkali justru menjerumuskan umat Islam sendiri. Dengan mengubur egoisme, maka kepedulian dan kesejahteraan bisa diwujudkan bersama. Persaudaraan (ukhuwwah) juga semakin erat, sehingga komitmen persatuan dan kesatuan semakin teguh.

Spirit kepedulian sosial sebenarnya telah diajarkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Dalam berbagai kisah, Nabi selalu memberikan segala yang dimiliki untuk umatnya. Demikian juga yang dilakukan putri beliau, Fatimah. Putri tercinta Nabi ini berani mensedekahkan rotinya yang tinggal sebungkus untuk keluarganya kepada para sahabat lain yang lebih membutuhkan. Demikian yang dicontohkan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, dan para sahabat Nabi lainnya.

Nabi selalu mengajarkan bahwa yang terbaik dari manusia adalah yang bisa bermanfaat bagi sesama (khoiru al-nas anfa’uhum li al-nas). Totalitas menjadi umat Nabi Muhammad bisa mencapai derajat “sukses” kalau bisa bermanfaat dan mensukseskan sesamanya. Selalu mendahulukan kepentingan sosial dari pada terjebak dalam kepribadian yang egois.

Para sahabat Nabi berlomba dalam kompetisi kebaikan demi kemaslahatan publik (maslahah al-ammah). Semakin kompetitif, maka akan lahir beragam kebaikan yang bisa dinikmati bersama. dan semakin kebaikan di bagi bersama, justru kebaikan tersebut tidaklah berkurang. Akan tetapi semakin bertambah dan bertambah (yazdad tsumma yazdad). Dalam al-Quran Allah telah menjelaskan bahwa perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah akan dilipatgandakan 700 kali. Dan Allah juga akan melipatgandakan kembali hambanya yang dikehendaki.

Kompetisi menjalankan kepedulian sosial inilah yang juga harus dijalankan umat Islam sekarang. Krisis sosial dan kemanusiaan banyak menghadirkan berbagai ketimpangan dan penderitaan yang menyeruak. Kemiskinan juga terus berlangsung, bahkan lebih tragis terjadi proses pemiskinan. Pengangguran juga terus bertambah seiring dengan krisis lapangan kerja. Biaya pendidikan tinggi semakin mahal, sehingga sedikit kaum miskin yang berani melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.

Bulan Ramadhan bisa menjadi momentum sangat baik untuk meningkatkan ketaqwaan dan kepedulian sosial. Abu Bakar Jabir al-Jazairy dalam “Minhaj al-Muslim” menjelaskan bahwa puasa mempunyai makna dalam tata keruhanian, kemasyarakatan, dan kesehatan. Dalam keruhanian, jelas al-Jazairy, puasa bisa mencipta bakat bertaqwa (malakatut taqwa) dalam setiap gerak hidup jiwa. Dalam kemasyarakatan, puasa mengajarkan ketertiban, persatuan, cinta keadilan dan kesetaraan, dan mengukuhkan basis persaudaraan dengan akhlaq yang lemah lembut. Sedangkan dalam kesehatan, puasa bisa menjadikan fisik semakin bersih dari penyakit, sebagaimana disabdakan Nabi, “berpuasalah kalian, maka kalian akan sehat”.

Kepedulian sosial yang hadir dalam Islam pastilah berdasarkan basis ketaqwaan yang selalu khusyu’ dan tawadu’ kepada Allah SWT. Semakin bertambah ketaqwaan, maka komitmen kepedulian sosial semakin menancap. Marilah kita berguru kepada kepada sahabat, ulama’, dan para kiai. Ajaran kearifan yang mengalir dari batiniyah para ulama’ seirama dengan tindakan dan perilaku yang dijalakan sehari-hari. Para kiai begitu perhatian dan peduli dengan santri dan masyarakatnya.

Kepedulian yang diteladankan Nabi dan ulama’ adalah kepedulian yang tidak berdasarkan kepentingan politik apapun. Tidak sedikit sekarang ini berbagai program kepedulian sosial ternyata dibalik itu semua terselip agenda politis. Solidaritas sosial yang digalang dalam berbagai seremoni dan gebyar yang mewah, ternyata digunakan untuk mengeruk kepentingan kelompok yang sangat parsial.

Bentuk solidaritas yang dibarengi riya’, sum’ah, apalagi kepentingan politis, sangat dikecam dalam ajaran Islam. Karena dalam Islam, semua yang dilakukan manusia adalah ibadah, kalau memang niatnya hanyalah karena Allah semata. Yang diniatkan karena Allah, dalam kaidah fiqh, maka tidak dianggap ibadah. Karena niat karena Allah memang untuk membedakan perbuatan menjadi ibadah atau sia-sia.

Dalam konteks ini, perlulah diwaspadai umat Islam atas berbagai gelar dan gebyar di bulan Ramadhan. Tidak sedikit kemasan gebyar, baik dalam buka puasa, taraweh, kultum, dan lainnya, yang hanya untuk bermegah-megahan saja. Apalagi gebyar acara yang dilakukan elite politik yang biasanya hanya untuk menarik simpati publik. Kepedulian yang ditampakkan hanya menjadi simbol politik, atau ada juga yang menjadi simbol bisnis, sehingga kepedulian tampak hambar, tak berbekas dan tak bermakna.

Dengan niat yang tulus kepada Allah, kita jadikan puasa sebagai momentum membangkitkan dan meningkatkan kepedulian sosial kepada umat manusia. Dengan saling peduli dan berbagai, sekali lagi dengan niat tulus kepada Allah, maka kita bisa merekatkan kembali persaudaran yang terkoyak, mengikis kemiskinan yang masih menjerat, dan meminimalisir krisis multidimensi yang masih membelenggu. Semoga bulan Ramadan membuka pintu keberkahan dan kemaslahatan bagi semua. Amin.

Setiap tahun terdapat satu bulan yang multi bonus, Ramadhan. Namun, apakah benar kita menyambut antusias terhadap datangnya bulan penuh berkah ini? Atau kita menyambutnya biasa-biasa saja tanpa ada ekspresi bahagia?

Dijelaskan bahwa predikat yang diperoleh oleh orang yang berpuasa adalah takwa, menjadi Muttaqin. Seorang muttaqin merupakan orang yang selalu mengerjakan apa-apa yang diperintahkan oleh allah dan menjauhi segala larangannya.

Bagaimana meraih Predikat muttaqin dalam berpuasa? Coba kita tengok ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bagaimana predikat muttaqin melekat kepada orang yang bertaqwa, yaitu: ﺎَﻳ ﺎَﻬﱡﻳَأ ﻦﻳِﺬﱠﻟا َ اﻮُﻨَﻣآ ﺐِﺘُﻛ َ ﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ ُ مﺎَﻴﱢﺼﻟا ُ ﺎَﻤَﻛ ﺐِﺘُﻛ َ ﻰَﻠَﻋ ﻦﻳِﺬﱠﻟا َ ﻦِﻣ ْ ﻢُﻜِﻠْﺒَﻗ ْ ﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ ْ َنﻮُﻘﱠﺘَﺗ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Ibadah puasa adalah salah satu perintah yang meminta pengorbanan kesenangan diri dan kebiasaan tiap hari. Kalau perintah tidak dijatuhkan kepada orang yang beriman tidaklah akan berjalan.

Imam Ath Thabari menegaskan bahwa ayat ini ditujukan untuk orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya. Ibnu Katsir menyatakan, firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia.

Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.

Dari penjelasan di atas juga dapat dipahami bahwa peraturan puasa bukanlah peraturan yang baru dibuat setelah Nabi, melainkan sudah diperintahkan juga kepada umat-umat terdahulu meskipun kitab Taurat tidak menerangkan peraturan puasa sampai kepada hal yang terkecil, namun didalamnya ada pujian dan anjuran kepada setiap orang agar berpuasa.

Puasa merupakan syariat yang penting di dalam tiap-tiap agama, mskipun ada perubahan-perubahan dari hari ataupun bulan. Setelah Rasulullah SAW diutus ditetapkanlah puasa bagi umat Islam pada bulan Ramadhan dan dianjurkan pula menambah (tathawwu’) dengan hari-hari yang lain.

Kemudian Allah Ta’ala menyebutkan hikmah disyariatkannya puasa seraya berfirman, { ﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ ْ َنﻮُﻘﱠﺘَﺗ } “Agar kamu bertakwa,” karena sesungguhnya puasa itu merupakan salah satu faktor penyebab ketakwaan, karena berpuasa adalah merealisasikan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Dan di antara gambaran yang meliputi ketakwaan dalam puasa itu adalah bahwa orang yang berpuasa akan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah seperti makan, minum, melakukan jima’ dan semacamnya. Semua itu adalah hal-hal yang biasanya dihalalkan dan diinginkan oleh nafsunya. Namun saat berpuasa, ia menahan diri dan menghindarinya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah seraya mengharapkan pahala.

Inilah hal yang merupakan ketakwaan, di antaranya juga sebagai gambaran bahwasanya orang yang berpuasa itu melatih dirinya dengan selalu merasa diawasi oleh Allah Ta’ala, maka meninggalkan apa yang diinginkan oleh nafsunya padahal dia mampu melakukannya karena dia tahu bahwa Allah melihatnya.

Orang yang berpuasa harus menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum, bersetubuh dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’.

Orang yang berpuasa akan melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya. Sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima’ dengan suami/istinya tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya.

Dari itu, mari menata kembali niat untuk mengarungi bulan penuh berkah ini, guna memperoleh predikat muttaqin seperti yang kita inginkan bersama.

Assalamu’ alaikum. Ada fenomena sekarang ini dimana kegiatan mesjid dan musholla yang bertebaran di pelosok Indonesia ini seperti berjalan sendiri-sendiri tanpa kaidah atau etika yang menjadi acuan bersama. Padahal ada lembaga negara dan lembaga keagamaan formal dalam komunitas Islam Indonesia yang menaunginya.

Mereka seperti bebas menafsirkan cara siar versi sendiri-sendiri. Yang memprihatinkan justru tidak mewakili Islam yang indah, bersahabat dan tertib.

Hal sederhana bisa dilihat dari cara penggunaan pengeras suara. Ada kalanya musholla kecil bisa lebih ‘bising’ dari sebuah mesjid besar. Pengeras suara digunakan bahkan untuk kegiatan keagamaan terbatas sekalipun. Kualitas muazzin terkadang juga tidak terjaga.

Namun yang memprihatinkan ialah penggunaan pengeras suara untuk ritual dzikir dan sholawat yang terus-menerus di waktu tertentu seakan diperuntukkan membangun entitas dan ciri khas mesjid/musholla tersebut.

Pengeras suara mesjid sepengetahuan yang saya pahami hanyalah untuk Adzan dan Takbir. Saya khawatir bila mesjid dan musholla dipergunakan untuk kepentingan kelompok atau pribadi sementara tidak ada ajaran dan anjuran Agama Islam untuk mengeraskan bacaan lain di luar adzan yang mana hal tersebut bisa menjurus ke bid’ah sayyi’ah.

Hal nyata yang saya alami yang mungkin bisa menjadi contoh kasus yaitu pada mesjid kecil di lingkungan tempat saya tinggal. 15 menit sebelum magrib selalu terdengar shalawat yang secara keras dikumandangkan (sekeras adzan) berulang-ulang.

Lebih aneh lagi ada narasi yang dibuat khusus (dalam bahasa Indonesia) diteriakkan sama setiap harinya 1 jam setelah adzan Subuh untuk membangunkan/mengingatkan orang segera sholat. Ritual ini sudah berlangsung lama tanpa ada yang berani menegur dan mempertanyakan.

Kepada lembaga lembaga/badan umat sangatlah kami harapkan pencerahan dan peranan aktifnya dalam mengangkat masalah ini. Niat baik tak lebih dari keinginan untuk menghadirkan tata kelola mesjid/musholla berada dalam koridor yang semestinya.

Keberadaan mesjid dan musholla seharusnya memberikan kesejukan dan ketenangan bagi umat muslim bukan sebaliknya sebagai tempat yang menebar kebisingan pada warga sekitar. Wassalam.

Novita
Pela Mampang, Jakarta Selatan

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengatakan, manusia dikaruniai alat bernama hawa nafsu. Sementara ibadah puasa adalah sarana untuk mengontrol hawa nafsu itu. Jika tidak maka akan terjadi sebaliknya, hawa nafsu yang memperalat manusia.

“Ibadah puasa ini ada pada agama-agama terdahulu. Dalam Islam, puasa yang diwajibkan pada tahun kedua hijriyah. Fungsinya adalah mendidik manusia agar mampu mengendalikan hawa nafsu, mengontrol hawa nafsu,” kata Kang Said dalam dialog bersama NU Online di kantor PBNU, Jakarta, Selasa (16/7).

Hawa nafsu dapat diurai menjadi tiga, kata kang Said. Pertama disebut nafsu ghodlobiyah yakni yang mendorong manusia mengejar pangkat, kedudukan, atau ambisi. Kedua nafsu syahwatiyah yang menjadikan manusia gemar mengejar kenikmatan dan kelezatan.

“Dua ini alat itu baik untuk membangun cita-cita kita, memotifasi kita, ‘agar saya tidak kalah, agar saya menang, agar saya mendapatkan kekayaan.’ Dua hawa nafsu ini positif asal terkendali, kalau tidak maka akan terjadi sebaliknya, kita yang akan diperalat oleh hawa nafsu itu,” kata Kang Said.

Jika kedua nafsu itu bisa dikendalikan maka sesungguhnya menusia telah memiliki hawa nafsu yang ketiga yakni nafsu mutma’innah.

“Jika kita sudah bisa bersyukur dan merasa cukup ‘alhamdulillah saya sudah punya pangkat kedudukan sedemikian, sudah punya kekayaan segini’, maka siap-siap saja nati dia dipanggil Tuhan, ‘Wahai hambaku yang mempunyai nafsu mutmainnah’.”

“Puasa adalah sarana untuk mengendalikan hawa nafsu agar benar-benar menjadi alat untuk membangun kehidupan. Jangan terbalik, kita yang menjadi alat hawa nafsu,” demikian Kang Said.