Sehat, merupakan satu istilah yang asalnya dari bahasa Arab; shihhah . Kata ini merupakan
bentuk mashdar dari kata kerja shahha, yashihhu , shihhah , yang artinya hilangnya penyakit
dalam tubuh atau telepas dari segala cacat. Namun secara kontekstual, sehat di sini tak hanya
bermakna sehat secara fisik, melainkan juga ia mencakup dan bermakna sehat secara mental,
jiwa, dan spiritual.
Perhatian dan tuntunan Islam terhadap segala macam persoalan hidup manusia dapat
dikatakan sempurna. Hal ini karena berkesuaian dengan salah satu misi teragung dalam Islam;
rahmatan lil’alamin . Sebagai agama yang punya sejuta inspirasi tentang makna kasih sayang
( rahmah), kepada sekalian alam.
Nah, termasuk dalam kategori rahmah , adalah peduli terhadap kesehatan. Peduli terhadap
kesehatan jiwa-raga sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar.
Menjadikan jiwa-raga sehat adalah juga salah satu hikmah dan manfaat yang dapat kita petik
dari puasa. Hikmah dan manfaat ini dapat kita renungkan dalam salah satu hadits Nabi Saw
yang menyatakan: “Berperanglah, kalian akan mendapatkan ghanimah. Puasalah, kalian akan
sehat. Dan bepergianlah, kalian akan merasa cukup“. Sehat secara fisik dan psikis, sehat
secara jiwa dan raga.
Jadi, kita harus kritis dan mempertanyakannya kepada diri kita masing-masing, apakah selama
lebih dari sepekan ini, kualitas puasa kita berimbas baik pada jiwa-raga kita atau malah
sebaliknya, buruk. Tentu saja, anda bisa menjawabnya sendiri.
Tetapi satu hal yang patut diingat, jika ternyata puasa yang selama ini kita jalani tidak
memberikan efek baik bagi jiwa-raga kita, satu indikasi bahwa kualitas puasa kita belum sehat
(baik). Sehingga, oleh karena itu, menata ulang niat dan kualitas puasa kita menjadi seyogia.
Indikator penjelasnya bisa lebih dispesifikkan misalnya, mengenai kualitas niat dan itikad kita
terhadap puasa, yang hanya (tidak lebih) sebagai pemindahan jadwal makan dan minum ke
waktu sahur dan buka, atau malah diikuti dengan niatan “balas dendam” dan seterusnya.
Salah satu isu kesehatan dalam kurun waktu belakangan, yang kerap meyisakan anomali dan
deviasi adalah mengenai kesehatan reproduksi remaja. Seperti kita ketahui, remaja merupakan
regenerasi bangsa. Masa remaja adalah satu fase kehidupan manusia, dimana ia sedang dalam
masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Masa dimana di sana identik dengan
mencari jati diri, penuh dengan kegalauan dan kebimbangan. Dengan ini, masa remaja
merupakan masa yang sangat vital, sekaligus rentan, apalagi jika tidak terarahkan dengan baik.
Selain peran orang tua secara signifikan dibutuhkan, memberikan pemahaman (pendidikan)
kesehatan reproduksi kepada remaja itu sendiri juga harus menjadi prioritas.
Beberapa anomali dan deviasi yang kerap mengerubuti di sekeliling kehidupan dan kesehatan
reproduksi remaja adalah soal pergaulan bebas, seks bebas, HIV/AIDS, hamil di luar nikah,
minum-minuman keras, penyalahgunaan narkoba, tawuran antar pelajar dan lain sebagainya.
Bukan karena apa, selain fenomena destruktif itu bukan cermin kultur bangsa kita, juga sangat
jauh dengan nilai-nilai agama, Islam, yang sangat kita imani itu. Sungguh, fenomena tersebut
merupakan wujud perilaku yang tidak sehat.
Termasuk ke dalam hal yang juga harus mendapatkan perhatian serius dalam lingkup
kesehatan reproduksi adalah soal khitan perempuan, menikah usia dini, haid, mimpi basah,
dan lain-lain. Padahal apa yang kurang dengan Islam, setiap hari kita dianjurkan
menguntaikan do’a “ Rabbana atina fi al-Dunya hasanah wa fi al-Akhirati hasanah wa qina
‘adzaba al-Nar ” (Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan (kesehatan) di dunia dan kebaikan
(kesehatan) di akhirat dan periharalah kami dari siksa neraka”. Karena mengapa? Karena
“ Mukmin yang kuat (sehat) adalah lebih baik dan lebih dicintai daripada mukmin yang lemah
(sakit )”, begitu kata Nabi Muhammad Saw dalam salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim.
Perhatian Islam terhadap hal ini juga termaktub dalam salah satu sabda Nabi Saw yang lain,
yang menyatakan tentang larangan bagi siapapun (terutama remaja) untuk tidak berdua-duaan
di tempat yang sepi, tanpa ada mahram . Dari Abdullah bin Abbas ra. Bahwa beliau mendengar
baginda Nabi Saw berkhutbah dan berkata: “ Jangan sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan
dengan seorang perempuan di tempat sepi, kecuali ada mahram baginya (perempuan) ”. (HR.
al-Bukhari).
Dan yang kemudian lebih ditegaskan lagi oleh ayat dalam QS. al-Isra [17]: 32: “ Dan janganlah
kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk ”.
Untuk memperkuat pemahaman kita terhadap hak kesehatan reproduksi, berikut saya
kemukakan definisi kesehatan reproduksi, sebagaimana mengacu pada Chapter (Nan) VII dari
Plan of Action hasil ICDP 1994, ia didefinisikan sebagai; keadaan fisik, mental, kelayakan sosial
secara menyeluruh, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi berikut
fungsi-fungsi dan proses-prosesnya. Pengertian inilah yang kemudian akan mengantarkan kita
kepada pemahaman tentang pelbagai macam hak-hak kesehatan reproduksi remaja (untuk
dewasa kelak), khususnya perempuan, yang juga mesti dipahami oleh laki-laki. Yakni,
sekurangnya ia melingkup pada soal; khitan perempuan, hak menikmati hubungan seksual, hak
menolak hubungan seksual, hak menolak kehamilan, hak menggugurkan kehamilan (aborsi),
dan lainnya.
Karena itu saya berharap, melalui momentum baik ini, momentum dimana kita ditempa untuk
senantisa isitiqamah terhadap nilai-nilai puasa untuk kemudian bisa kita aplikasikan biarpun
masa sebulan Ramadhan telah berakhir. Untuk terus menuju pencapaian predikat “takwa”.
Karena itu saya sangat yakin, jika salah satu indikator seseorang dekat dengan takwa adalah
ia yang baik menjaga dan memenuhi hak kesehatan reproduksinya dengan baik kepada remaja,
terutama perempuan, dan di saat yang sama hal ini dipahami oleh laki-laki.
Maka langkah-langkah yang dapat diambil dalam rangka memenuhi dan penguatan hak
kesehatan reproduksi bagi remaja, seluruh elemen masyarakat wajib berpasrtisipasi, untuk
secara integratif dan sinergis mencanangkan nota kesepahaman untuk pemenuhan dan
pendidikan hak kesehatan reproduksi.
Pertama , tugas untuk pemerintah (pusat dan daerah), sebagai pemegang kendali dan regulasi,
harus senantiasa konsisten dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat dalam pemenuhan hak
kesehatan reproduksi melalui pelayanan akses informasi dan kesehatan gratis lagi mudah.
Kedua, tugas untuk lembaga pendidikan formal (maupun non-formal) dan keagamaan, untuk
senantiasa mendukung program pemerintah melalui penguatan-penguatan. Bagi lembaga
pendidikan formal, ikhtiar ini bisa diwujudkan dengan merancang kurikulum tentang
pendidikan kesehatan reproduksi. Sedangkan bagi lembaga keagamaan, terus mendakwahkan
hidup secara sehat yang diperkuat dengan tuntunan agama.
Ketiga, untuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus terus secara sigap mengawasi kinerja
pemerintah dalam memenuhi amanat regulasi, agar terhindar dari manipulasi dan KKN.
Keempat , untuk masyarakat itu sendiri (terutama, dalam konteks ini keluarga dan remaja) harus
proaktif memenuhi anjuran program baik dari pemerintah, LSM, maupun lembaga pendidikan
dan keagamaan.
Akhirnya, saya mengajak mari kita terus berikhtiar dan berdo’a agar puasa dan cita-cita
mewujudkan regenerasi (masyarakat) yang sehat reproduksinya bisa terlaksana dengan segera.
Semoga di sisa bulan Ramadhan ini kita tetap bisa beristiqamah untuk beribadah vertikal
maupun horizontal sampai nanti kita berjumpa kembali di tahun Ramadhan mendatang dan
begitu seterusnya hingga ajal menjelang, kita dalam keadaan istiqamah dan husnul khatimah.
Dan, semoga atas sehatnya kualitas puasa kita dapat berimbas baik kepada masyarakat
Indonesia yang sehat juga; yakni mencapai baldatun thayyibun wa rabbun ghafur . Aamiin.
Demikian. Wallahu ‘alam bi al-Shawab .