Arsip untuk 23/07/2013

Suatu hari Abu Bakar ash-Shiddiq menerima makanan dari hamba sahayanya. Tanpa ragu, ia langsung mencicipinya. Si hamba sahaya pun heran dengan peristiwa yang dinilai tak biasa ini.

”Kau selalu menanyakan asal makanan yang aku bawa. Tapi mengapa hari tak kau berbuat demikian?” tanya hamba sahaya.

”Maaf, rasa laparku membuatku lupa menanyakan hal itu. Dari mana kamu mendapatkan makanan ini?”

Hamba Sahaya lantas menjelaskan bahwa ia pernah berprofesi sebagai tukang ramal. Sebagian orang yang diramal membayar kontan namun sebagian lain berhutang.

Mereka yang berhutang menjanjikan pelunasan saat mereka memiliki uang. ”Aku sudah bertemu mereka hari ini. Dan merekalah yang memberi makanan ini kepadaku.”

Abu Bakar sontak gelagapan. ”Kau hampir membunuhku,” teriaknya sambil berusaha mengeluarkan makanan yang sedikit itu dari perutnya.

“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu. Kau telah bersusah payah karena makanan yang sedikit,” kata orang yang menyaksikan reaksi Abu Bakar ini.

“Aku pasti memaksanya keluar meski nyawa menjadi risikonya,” sahut Abu Bakar. ”Aku mendengar Nabi berkata, badan yang tumbuh subur dengan makanan haram akan merasakan api neraka.”

Abu Bakar terkenal sangat hati-hati. Salah satu sahabat yang dijanjikan surga (mubasysyirin bil jannah) ini tegas akan membuang semua harta berbau haram, entah karena substansinya atau cara mendapatkannya.

Siapa tak kenal Imam Syafi’i? Bapak ushul fiqih ini tak hanya tenar karena kepakarannya di bidang hukum Islam. Sejumlah ulama menilai, Imam Syafi’i juga layak dianggap pelopor disiplin keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir dan musthalah hadits.

Terlahir dengan nama Muhammad ibn Idris, Imam Syafi’i tumbuh sebagai pribadi yang cerdas dan kritis. Memang ia sangat memuliakan dan mengagumi guru-gurunya. Namun, proses pencarian kebenaran yang gigih membawanya ke panggung ijtihad yang mandiri. Imam Syafi’i sukses membangun mazhabnya sendiri, terutama fiqih.

Tak pelak, Imam Syaf’i pun berbeda pandangan dengan para pendiri mazhab fiqih lain, baik gurunya sendiri, Imam Malik; pendahulunya, Imam Hanafi; ataupun muridnya, Imam Hambali.

Soal qunut misalnya. Imam Hanafi dan Imam Hambali tegas bahwa qunut tak sunnah pada sembahyang shubuh, kecuali pada sembahyang witir. “Dalam sembahyang shubuh, Nabi melaksanakan qunut hanya selama satu bulan. Setelah itu tidak,” dalihnya.

Imam Syafi’i menolak pendapat ini. Dengan dalil yang tak kalah kuat, ia meyakini qunut shubuh juga berstatus sunnah. Sebagai ulama yang konsekuen, Imam Syafi’i tak putus membaca qunut shubuh sepanjang hidupnya. Selalu. Kecuali pada suatu hari yang aneh.

Ya, saat itu Imam Syafi’i meninggalkan qunut shubuh. Perilaku ganjil yang sepintas tampak mengkhianati buah pikirannya sendiri ini terjadi di Baghdad, Iraq. Persisnya, di dekat sebuah makam.

Mengapa?

Ternyata Imam Syafi’i sedang menaruh hormat yang tinggi kepada ilmu dan jerih payah pemikiran ulama lain, kendatipun berseberangan dengan pahamnya. Karena di tanah makam di sekitar tempat ia sembahyang itu telah bersemayam jasad mujtahid agung, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit alias Imam Hanafi.

Siti Aisyah RA mengerti betul kepribadian suaminya, Rasulullah SAW. Hidup dalam suasana keluarga memberinya kenangan indah yang kaya dari sikap keseharian utusan Allah itu.

Nabi diketahui tak pernah mengeluh meski keadaan kurang mendukung. Hatinya sangat lapang. Pernah Nabi tak medapati makanan apapun untuk sarapan di meja dapurnya. Seketika Nabi berniat puasa untuk hari itu.

Begitulah. Rasulullah tak ingin menjadi beban orang lain, termasuk keluarganya sendiri. Nabi bahkan selalu memanggil Aisyah dengan sapaan mesra ”ya humaira” (wahai pemilik pipi kemerah-merahan).

Pengalaman lain yang tetap membekas di hati Aisyah adalah ”peristiwa di pagi buta”.

Suatu hari Aisyah dicengkram rasa khawatir. Hingga menjelang shubuh ia tidak menjumpai suaminya tersebut tidur di sebelahnya.

Dengan gelisah Aisyah pun mencoba berjalan keluar. Ketika pintu dibuka, Aisyah terbelalak kaget. Rasulullah sedang tidur di depan pintu.

“Mengapa Nabi tidur di sini?”

“Aku pulang larut malam. Karena khawatir mengganggu tidurmu, aku tak tega mengetuk pintu. Itulah sebabnya aku tidur di depan pintu,” jawab Nabi.

Dengan demikian, tidak aneh, setiap Aisyah ditanya soal kepribadian Nabi, ia selalu menjawab tegas, kana khuluquhu al-qur’an. Akhlaknya tak ubahnya al-Qur’an!

Di zaman Yahya bin Syaraf An-Nawawi hidup, atau sekitar abad ke-7 H, sebuah kebijakan kontroversial pernah dikeluarkan oleh rezim kekuasaan. Negara hendak memungut paksa iuran wajib dari rakyat demi jalannya aktivitas pemerintahan.

Sebagai ulama yang diikuti banyak orang, Imam Nawawi mendapat panggilan Raja azh-Zahir Berbis, pemimpin saat itu.

“Tandatanganilah fatwa ini!” perintah Raja kepada Imam Nawawi dengan nada meremehkan.

Imam Nawawi sudah paham, rakyat sedang dicekam kesusahan. Kemiskinan meruyak dan kelaparan di mana-mana. Anehnya, para pejabat dan keluarganya justru hidup mewah, sarat fasilitas, serta gemar berfoya-foya.

“Tidak!” tegasnya.

“Apa alasannya?” sang raja tampak murka.

”Fatwa ini mendukung kezaliman.”

Kemarahan Raja Berbis memuncak. Sambil menoleh ke para pejabat di sekelilingnya, ia berteriak, ”Pecat dia dari semua jabatannya!”

Namun, sang raja terpaksa gigit jari karena ulama sederhana penghasil puluhan karya besar itu ternyata tak memiliki jabatan apapun.

”Kenapa Raja tak memberi hukuman mati saja?” usul salah satu pejabat.

“Demi Allah, aku sangat segan padanya.”

Imam Nawawi termasuk ulama yang berpendirian kuat. Di hadapan penindasan, perlawanannya keras dan berani meski risiko berat akan menghampirinya. Agama memang terlalu suci untuk dijual dengan kepentingan politik, apalagi yang tak berpihak pada rakyat.

Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, atau populer disebut Imam Hanafi, pernah berpapasan dengan seorang anak kecil yang tampak berjalan mengenakan sepatu kayu.

”Hati-hati, Nak, dengan sepatu kayumu itu. Jangan sampai kau tergelincir,” sang imam menasehati.

Bocah miskin ini pun tersenyum, menyambut perhatian pendiri mazhab Hanafi ini dengan ucapan terima kasih.

”Bolehkah saya tahu namamu, Tuan?” tanya si bocah.

”Nu’man.”

”Jadi, Tuan lah yang selama ini terkenal dengan gelar al-imam al-a‘dham (imam agung) itu?”

”Bukan aku yang menyematkan gelar itu. Masyarakatlah yang berprasangka baik dan menyematkan gelar itu kepadaku.”

“Wahai Imam, hati-hati dengan gelarmu. Jangan sampai Tuan tergelincir ke neraka gara-gara dia. Sepatu kayuku ini mungkin hanya menggelincirkanku di dunia. Tapi gelarmu itu dapat menjerumuskanmu ke kubangan api yang kekal jika kesombongan dan keangkuhan menyertainya.”

Ulama kaliber yang diikuti banyak umat Islam itu pun tersungkur menangis. Imam Hanafi bersyukur. Siapa sangka, peringatan datang dari lidah seorang bocah.