Arsip untuk Juli, 2013

Momentum Ramadhan sebagai bulan yang dipercaya penuh berkah juga dimanfaatkan oleh pihak industri hiburan, terutama televisi. Sudah jamak diketahui bahwa banyak sekali perubahan tayangan televisi selama bulan Ramadhan, terutama dari segi tampilannya. Semua serba religius. Acara yang sebelumnya penuh dengan tayangan “obral aurat” tiba-tiba berubah menjadi serba tertutup. Artis-artisnya pun mendadak “insyaf” seperti kebanjiran hidayah.
Sebagai pemirsa tentu kita ikut senang dengan perubahan itu. Artinya, para insan pertelevisian di negeri ini masih memiliki “nurani” untuk menayangkan hal-hal yang positif. Tapi, apakah tayangan-tayangan religi itu akan bertahan sampai setelah Ramadhan? Apakah di hari-hari biasa, di luar Ramadhan, masih tetap akan menayangkan yang serbareligius itu?

Mengikuti Selera Pasar

Hampir semua tayangan yang ada di televisi mayoritas mengikuti selera pasar. Mereka menyuguhkan tayangan-tayangan yang memang diganderungi masyarakat. Salah satu contoh ketika di Tanah Air sedang marak acara audisi pencarian bakat. Secara serentak, hampir semua televisi menyelenggarakan ajang serupa. Dari kontes menyanyi, dancer, pelawak, hingga audisi menjadi dai atau penceramah. Seandainya acara-acara itu tidak disukai pemirsa, mustahil mereka menyelenggarakan acara yang banyak menelan biaya tersebut.

Begitu juga ketika Ramadhan. Hampir semua stasiun televisi menayangkan acara yang tidak jauh dari tema Ramadhan. Dari acara menjelang sahur yang dimeriahkan para komedian terkenal, tablig akbar menjelang buka puasa, dan yang lainnya. Bahkan, sinetron-sinetron pun rata-rata memakai setting Ramadhan, yang tentunya para pemainnya jarang memakai busana yang “kurang sopan” seperti sinetron di luar Ramadhan. Iklan-iklannya pun akan dibuat “seislami” mungkin, dan tidak jauh dari tema puasa. Dari iklan minuman, pakaian, obat, hingga iklan rokok.

Selain memanfaatkan momentum Ramadhan, hal ini terjadi karena mayoritas penduduk negeri ini Muslim dan gemar dengan tayangan televisi. Artinya, kebutuhan masyarakat akan tayangan seperti itu memang meningkat. Dan, kesempatan inilah yang diambil oleh mereka dengan menayangkan tayangan yang serbaislami.

Terlepas dari islami atau tidaknya tayangan televisi di bulan Ramadhan. Peran media memang sangat besar untuk memengaruhi pemirsa. Pemirsa yang “kurang cerdas” tentu akan anteng-anteng saja dengan tayangan televisi yang ada. Apakah itu edukatif, banyak mendatangkan manfaat, atau sebaliknya, penuh dengan hal-hal negatif.

Dalam konteks ini, tampaknya media—dalam hal ini televisi—memainkan peran yang sangat strategis. Masalahnya, di luar manfaat positif yang dimiliki, menurut Akbar S Ahmed, media memiliki karakteristik “negatif”. Menurutnya, media menghibur, mengajar, mendidik, dan “menyesatkan” kita, tanpa henti dan dengan variasi yang tidak pernah berakhir.

Ahmed menyebut ada sembilan karakteristik “negatif” yang dimiliki media. Dari kesembilan karakteristik tersebut, ada dua karakteristik yang relevan diungkap di sini. Pertama, bahwa media tidak setia dan tidak ingat teman. Kedua, media dengan dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral dan pesan-pesan spiritual (Annida: 2003).

Dari pendapat di atas bisa ditarik sebuah benang merah bahwa, fenomena tayangan televisi yang serbareligi di bulan Ramadhan, di satu sisi berusaha “menghormati” dan menjaga kesetiaan pemirsa yang mayoritas beragama Islam. Di sisi lain, ia menjadi bagian dari mekanisme pasar.

Karena jika kita amati, sinetron yang tayang di Ramadhan hanya beberapa episode saja yang menampakkan suasana Ramadhan. Selanjutnya, tidak jauh beda dengan sinetron kejar tayang lainnya yang tayang di luar Ramadhan. Jadi, sangat jelas bahwa tayangan religius itu hanya sekadar “polesan” untuk sebuah momentum saja.

Penonton yang Cerdas

Jika kita amati, hampir semua stasiun televisi pada Ramadhan memang berlomba-lomba menampilkan program acara yang serbareligi. Namun, tidak semua acara yang ada memenuhi unsur yang disyaratkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, KPI telah melayangkan 7 surat teguran kepada tujuh acara televisi yang dinilai melanggar. Ini dilakukan sebagai catatan sekaligus teguran bagi pihak industri hiburan agar lebih memerhatikan “kode etik” penyiaran yang seharusnya dipatuhi. Ketujuh acara Ramadhan tersebut mayoritas acara yang ditayangkan secara langsung pada saat sahur dan menjelang buka puasa.

Menurut Nina M. Armando, Komisioner Bidang Isi dan Siaran KPI, seperti dilansir Kapanlagi.com, Senin (6/8/2012), teguran semacam itu tidak hanya berlaku saat Ramadhan. Pihak KPI memantau acara televisi sepanjang tahun. Tapi, banyaknya acara komedi Ramadhan yang disiarkan secara langsung itulah yang berpotensi membuat pelanggaran.

Selain KPI, masyarakat sebagai pemirsa yang cerdas seharusnya sejak dini mulai selektif memilih tayangan televisi. Dan, tidak segan-segan melaporkan kepada pihak berwenang jika ditemukan tayangan-tayangan yang kurang mendidik, melecehkan, atau hal-hal lain yang tidak sepantasnya menjadi bahan tontonan. Ini untuk meminimalisir dampak negatif tayangan televisi yang besar pengaruhnya bagi masyarakat.

Bulan Ramadhan merupakan momentum paling strategis bagi umat Islam dalam menanamkan nilai-nilai agama dalam kehidupan. Mulai sahur sampai sahur kembali merupakan momentum yang sangat berharga, sehingga sulit sekali dilewatkan.
Semua berburu untuk menjadi bagian penting Ramadhan. Nilai-nilai Ramadhan terhampar begitu luas, mulai kejujuran, kedisiplinan, keteguhan, ketekunan, kesabaran, keistiqomahan dan lain sebagainya.

Di tengah bangsa yang sedang didera krisis karakter ini, nilai-nilai dalam Ramadhan sangat penting untuk diartikulasikan dalam pendidikan. Apalagi dalam momentum penerapan kurikulum 2013, nilai-nilai Ramadhan menjadi senjata sangat ampuh untuk starting point menuju kesuksesan kurikulum yang sedang digerakkan ini.

Kalau kurikulum 2013 hanya dimaknai dalam aspek akademik birokratis, maka yang lahir hanya perdebatan demi perdebatan tanpa ujung. Akan tetapi kalau mau masuk dalam khazanah tradisi yang terhampar dalam Ramadhan, maka kurikulum 2013 sangat mudah diterapkan. Ini yang jarang dipahami dan dipikirkan pelaku pendidikan kita.

Perubahan Kurikulum

Sejauh ini kurikulum nasional banyak mengalami perubahan. Sepuluh tahun belakangan ini pergantian kurikulum selalu menuai banyak permasalahan. Di antaranya banyak orang tua yang mengeluh akibat selalu ganti buku pelajaran, mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli buku pelajaran.

Selain itu para guru kebingungan dengan banyaknya perubahan peraturan-peraturan baru mengenai sistim pembelajaran dikarenakan pergantian kurikulum. Akhirnya banyak guru yang sibuk dengan masalah administrasi pembelajaran dan tidak fokus dalam proses pembelajaran pada siswanya.

Kurikulum memang boleh diperbaiki dan itu penting. Melakukan planing dan proses dalam kurikulum memang harus dilakukan secara baik namun tidak bisa dilupakan akan adanya evaluasi. Evaluasi kurikulum ini menjadi penting karena bagaimanapun zaman selalu berkembang, pengetahuan, teknologi dan pengalaman pun akan mempengaruhi pola hidup siswa dan kebutuhan masyarakat.

Selanjutnya, seberapa jauh pemerintah melakukan evaluasi pada kurikulum nasional yang cenderung tidak bertahan lama ini? Melakukan evaluasi adalah cara untuk menemukan kekurangan dan memperbaikinya, bukan merubahnya secara utuh atau mengganti langsung dengan yang baru. Ini akan menjadi permasalahan yang baru. Belum tentu kurikulum baru akan bisa bertahan minimal 10 tahun ke depan.

Kurikulum ideal?

Smith (1996) dalam jurnal “Curriculum as a body of and practice” yang menyimpulkan bahwa “Curriculum as a body of knowledge to be transmitted, curriculum as an attempt to achieve certain and in students-product, Curriculum as process and Curiculum as praxis.” Kurikulum adalah wadah ilmu pengetahuan, kurikulum sebagai usaha untuk mencapai tujuan siswa, kurikulum sebuah proses dan kurikulum adalah sebuah tindakan.

James A. Beane  (1991) menjelaskan pula dalam karyanya Curriculum Planinng and Development, menyimpulkan adanya empat katagori pengertian kurikulum, yaitu (1) kurikulum sebagai produk (curriculum as product), (2) kurikulum sebagai program (Curriculum as a program), (3) kurikulum sebagai materi pembelajaran yang diperlukan (curriculum as intended learnings), dan (4) kurikulum sebagai pengalaman peserta didik (curriculum as the experiences of the learner).

Dari beberapa pengertian di atas, maka jelaslah bahwa cakupan kurikulum sangatlah luas, tidak hanya terbatas pada rencana pembelajaran yang diberikan di dalam kelas atau jenis pelajaran yang telah ditentukan, melainkan mencakup seluruh aktifitas-aktifitas yang diselenggarakan selama masih dalam tanggungjawab sekolah, baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

Di samping itu cakupan kurikulum secara luas meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan anak seperti kondisi fisik dan moral seperti yang dikemukakan Wiel Veugelers (2008) dalam “Different ways of theaching values.” Artikel ini memperhatikan konsep pendidikan yang tidak hanya kegiatan fisik tetapi juga berhubungan dengan nilai-nilai moral (values).

Jadi kurikulum adalah segala kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar yang dituangkan dalam bentuk rencana yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran di sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan.

Ramadhan, Jalan Menuju Karakter

Penerapan kurikulum 2013 untuk lebih menerapkan pendidikan karakter memang baik, namun sebenarnya setiap mata pelajaran apapun seharusnya mengandung nilai pendidikan karakter. Hanya bagaimana para guru mampu mengimplementasikannya kepada peserta didik. Selain itu para guru juga harus menjadi figur yang baik bagi peserta didiknya, jangan hanya melarang mereka untuk merokok, namun mereka pernah melihat guru tersebut merokok di rumahnya.

Karena menanamkan values (nilai) itu tidak semudah memberi teori dan materi pelajaran, namun juga menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Ramadhan sebenarnya merupakan jalan sangat tepat menuju karakter utama bangsa Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, puasa mengajarkan setiap Muslim untuk menjadi pribadi yang utama. Bukan mulai fajar sampai magrib, tetapi dalam setiap saat karakter Ramadhan masuk di berbagai sisi kehidupan. Bahkan televisi dan media juga ikut tampil menyesuaikan dengan karakter religius Ramadhan.

Jalan menuju karakter ini harus dipahami dengan kritis dan kontemplatif. Ramadhan adalah sekolah yang ideal. Semua hal diberikan bagi manusia dalam bulan Ramadhan. Sepakat dengan pendapat Rhenald Kasali (2011) yang mengatakan ‘sekolah bukanlah tempat untuk menjadi pintar atau kaya. Sekolah diadakan untuk membentuk kehidupan. Values tentu harus dijalankan. Jadi buat apa memajang Pancasila atau corporate values di dinding sekolah kalau tidak dijalankan’. Tentu yang menjalankan ini semua bukan hanya peserta didik.

Values dalam bulan Ramadhan yang ingin ditanamkan kepada siswa harus lebih dahulu ditanamkan kepada pendidik, karena mereka akan menjadi figur atas peserta didik. Mengajarkan pendidikan karakter harus dari pendidik yang berkarakter pula.

Pendidikan tentu bukan hanya tugas sekolah dan para guru namun yang paling utama tugas orang tua, buat apa anak selalu mendapatkan nilai moral di sekolah namun di rumah orang tua tidak pernah menanamkan dan menjalankan nilai tersebut? Ramadhan akan menuntun semua komponen pendidikan menjadi teladan, sehingga akan lahir manusia ideal yang didambakan Indonesia pada 1945 nanti.

Mengubah karakter seseorang mungkin menjadi hal tersulit bagi seorang guru ataupun orang tua, namun hal itu tidak di bulan Ramadhan. Bagaimana bisa? Berikut ini akan dipaparkan.
Ternyata Puasa yang dijalankan oleh umat Islam memiliki makna-makna luar biasa sebagai media pendidikan karakter manusia untuk mampu mengubah profilenya menjadi makhluk-makhluk berkualitas, baik pribadi maupun sosial.

Di dalam badan kita terdapat suatu benda yang mengontrol seluruh akivitas, baik tingkah laku, pikiran maupun tindakan, benda itu bernama qalb atau berarti “jantung” dan ada juga yang mengartikannya dengan “hati”. Nah, benda inilah yang menjadi objek pembangunan karakter manusia melalui ibadah puasa.

Puasa mengajarkan manusia sebuah hal yang sangat dahsyat. yaitu kejujuran pada diri sendiri. Sesuatu yang sejatinya halal, menyenangkan lagi dibutuhkan akan berubah menjadi haram, dijauhi dan campakkan hanya karena satu hal: Hari masih siang!

Kita bertanya, bukankah manusia dapat menikmati itu semua di kesendiriannya? Sangat mungkin, karena puasa itu ibadah yang tidak nampak. Kita tinggal mencari ruangan kosong lalu mengunci pintu rapat-rapat dan minum. Bukankah seseorang dapat mengku dirinya berpuasa namun kenyataan tidak? Namun tidak halnya bagi seseorang yang berpuasa dengan sebenar-benarnya. Dia akan berkata bahwa bersembunyi lalu makan/minum di siang Ramadhan adalah penipuan bagi hati nuraninya baik diketahui orang maupun tidak, karena tuhan melarang itu. Disinilah seorang manusia diajarkan kejujuran kepada dirinya, ketaatan kepada tuhannya.

Tentu betapa luar biasanya apabila hal ini dihayati selama 29 hari secara kontinyu. Akan sangat berdampak pada karakter pribadi seorang manusia yang telah terbiasa jujur pada hatinya. Kejujuran kepada hati inilah yang akan menciptakan pribadi yang jujur, dan pribadi yang jujur akan membentuk kejujuran sosial. Manusia-manusia yang memiliki kejujuran pribadi tidak akan terkena penyakit-penyakit hati yang menghalalkan keharaman dimanapun dia berada.

Itulah sebabnya mengapa para pakar ilmu sosial menjadikan individu yang ada di dalam potret sebuah masyarakat salah satu dari komponen yang membentuk kemajuan masyarakat tersebut. Sebab mustahil mengubah taraf hidup masyarakat tanpa mementingkan komponen yang ada di dalamnya.

Pribadi yang memiliki kejujuran apabila sedang bekerja akan teliti, apabila sedang belajar ia akan bersungguh-sungguh, apabila menyusun anggaran ia akan terbuka, apabila sedang berbicara ia tidak akan  berbohong dst. Sebab hatinya berkata bahwa kelalaian, kemalasan, korupsi anggaran, dusta dan lain sebagainya. Semua itu adalah modus penipuan hati nurani. Inilah yang membentuk karakter manusia. Wallahu A’lam.

Ramadhan, Bulan Kesabaran

Posted: 26/07/2013 in TAUSHIYAH

Ramadhan adalah bulan istimewa. Bulan penuh rahmat dan ampunan. Ramadhan itu ibarat tamu spesial, bukan sembarang tamu. Maka, penyambutannya pun mesti spesial. Bahkan, saking spesialnya bulan Ramadhan, hingga hanya dengan bermodal rasa gembira saja, Allah menjanjikan surga dan jasadnya haram tersentuh api neraka.
Ini sesuai dengan salah satu riwayat yang menyebutkan: “Barang siapa yang menyambut dengan gembira datangnya bulan suci ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya tersentuh api neraka”. Sungguh sebuah jaminan spesial di bulan spesial untuk mereka yang spesial.

Tak hanya itu saja, dari sisi nama, Ramadhan merupakan bulan yang memiliki banyak sebutan dan julukan. Ini wajar, mengingat di dalam bulan tersebut terdapat berbagai macam keistimewaan yang tak dimiliki bulan-bulan lain.

Syahr al-Qur’an misalnya, ramadhan mendapat julukan itu sebab pada bulan tersebut Allah menurunkan kitab suci al-Qur’an. Ada juga Syahr as-Shiyaam, sebutan itu disematkan pada bulan ramadhan lantaran pada bulan tersebut seluruh umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan puasa. Yang tak kalah penting untuk direnungkan adalah ‘laqab’ Ramadhan dengan sebutan Syahr as-Shabr, bulan penuh kesabaran.

Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam sabda Nabi: “Shaum syahr as-shabr wa tsalatsat ayyam min kulli syahrin yudzhibna katsiran min waghr as-shadr”, yang artinya, puasa di bulan kesabaran dan tiga hari dalam setiap bulan dapat membebaskan dari sifat dengki dan amarah yang ada di dalam dada.

Terkait dengan hadis di atas, imam al-Khatthabiy dan juga mayoritas ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Shaum as-shabr” adalah puasa Ramadhan. Imam Jalaluddin as-Suyuthi, dalam “Hasyiyah” nya juga menambahkan bahwa bulan Ramadhan disebut bulan kesabaran itu disebabkan adanya keterkaitan makna antara kalimat “as-shabr” dan “as-shaum”. Secara etimologis, “as-shabr” bermakna “al-habs” yang memiliki arti menahan, sedangkan “as-shaum” mempunyai makna dasar “al-imsak” yang berarti mengekang atau mencegah.

Pada saat orang berpuasa, maka saat itu juga ia sedang sabar. Sabar untuk tidak melanggar perintah Allah dan tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Aktifitas puasa seperti ini secara tidak langsung melatih seorang muslim untuk selalu bersikap sabar dalam berbagai macam kondisi. Tak hanya sabar terhadap musibah, tetapi juga sabar terhadap perintah agama. Sebab, -sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu al-Jauzi- dalam “Dzamm al-hawa” bahwa sabar itu terbagi menjadi dua macam.

Pertama, as-shabr ‘an al-makruh, sabar terhadap sesuatu yang dibenci. Sabar dalam kategori ini adalah sabar untuk tidak melakukan maksiat. Kedua, as-shabr ‘an al-mahbub, yaitu sabar terhadap sesuatu yang disukai. Maksudnya adalah seseorang dituntut untuk selalu bersikap sabar dalam melaksanakan hal-hal yang diperintahkan dalam agama.

Kesabaran dan puasa adalah dua hal yang saling terkait dan tak terpisahkan. Karena itu, melalui momentum bulan Ramadhan ini, mari bersama-sama saling berlomba untuk bersabar. Saling berlomba menjadi hamba yang terbaik di mata Tuhan. Kita mulai pelan-pelan, setahap demi setahap. Dimulai dari sabar untuk tidak makan dan minum, sabar untuk tidak mengotori hati dan anggota badan hingga pada puncaknya, kita akan mampu menjadi seorang hamba yang betul-betul sabar terhadap segala bentuk takdir Tuhan.

Apapun yang diputuskan-Nya pada kita, semuanya adalah atas kehendak-Nya. Karena itu, sungguh tak layak bagi makhluk-Nya untuk terus menerus protes dan mengeluh kepada-Nya. Tuhan maha mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Pada tahap inilah sabar berada pada puncak tertinggi. Semoga kita bisa meraihnya. Amien.

Ibadah puasa diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah. Ibadah ini juga diwajibkan untuk umat-umat sebelumnya, agama-agama terdahulu pasti ada kewajiban puasa.
Nah bulan puasa atau bulan Ramadhan adalah momentum untuk melakukan tiga hal, yakni jihad, ijtihad dan mujahadah.

Bulan puasa adalah syahrul jihad. Kenapa disebut bulan jihad? Sejarah mencatat banyak peristiwa-peristiwa penting menyangkut perjuangan umat Islam terkadi di bulan Ramadhan. Nabi Muhammad pertama kali perang melawan Quraisy Makkah dan menang meskipun jumlah pasukan lebih sedikit, itu terjadi di tahun kedua hijriyah dan bulan Ramadhan. Peristiwa Fathu Makkah, pembukaan kota makkah atau kemenagan besar umat Islam, terjadi tahun 8 hijriyah juga terjadi di bulan Ramadhan.

Peristiwa lain, Thariq bin Ziyad berhasil masuk ke Andalus  tahun 92 Hijriyah juga terjadi di bulan Ramadhan. Anwar Sadad dan tentara Mesir pertama mengalahkan Israel dan menguasai Gurun Sinai tahun 73 Hijriyah, terjadi pada bulan Ramadhan. Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 juga terjadi di bulan Ramadhan pada hari Jum’at.

Artinya bulan Ramadhan adalah bulan perjuangan, bulan yang bisa memompa dan memicu semangat kita untuk berjuang secara fisik. Ramadgan tidak identik dengan diam, lemah, dan bermalas-malasan. Justru di bulan Ramadhan ini kita bisa lebih produktif. Orang Jawa bilang cancut tali wondo, singsingkan lengan baju, mari kita bekerja.

Kedua, bulan Ramadhan ini kita sebut juga dengan syahrul ijtihad, bulan untuk mendalami agama dan ilmu pengetahuan.

Lihat tradisi kita di pesantren. Setiap bulan Ramadhan ada istilah “ngaji pasaran”, kira-kira 20 hari lamanya. Beberapa kitab dibaca oleh kiai dan persertanya adalah alumni-alumni pesantren yang sudah menjadi kiai di desanya atau daerahnya masing-masing. Ada seorang kiai yang membaca kitab Tafsir Ibnu Katsir 5 julid tebal dan selesai. Pengajian dilakukan seharian, mulai setelah subuh, dhuhur, dan seterusnya sampai usai tarawih, sampai larut malam.

Saat ngaji pasaran ini adalah saat yang pas untuk muthola’ah membaca seisi kitab secara bersama, yang dipandu oleh kiai, karena kita tak mungkin mutola’ah kalau tidak saat ngaji bersama itu.

Ada juga kiai yang membaca kitab Bukhiri-Muslim berjilid-jilid, ada yang mengajarkan qiraah sab’ah, atau tujuh bacaan Al-Qur’an yang dibacakan dari mulai juz 1 sampai 30. Ada kiai yang membaca kitab kecil-kecil tapi banyak sekali yang dibaca. Dan seterusnya.

Artinya aktifitas belajar ilmu pengetahuan di bulan Ramadhan ini bisa lebih tinggi dibanding bulan yang lain.

Terakhir, bulan Ramadhan kita sebut dengan syahrul mujahadah. Jika jihad adalah urusan fisik, lalu ijtihad adalah urusan intelektual, maka sekarang adalah urusan spiritual.

Sejarah juga mencatat, di bulan Ramadhan ini para ulama, kiai banyak mendapatkan pengalaman dapat futuhat, keterbuakaan hati. Ibnu Arabi ma’rifat di bulan Ramadhan. Al-Ghazali khalwat 3 bulan; Rajab, Sya’ban dan puncaknya Ramadhan.

Banyak sekali dalam sejarah para ualam dapat futuhat ilahiyah pada bulan Ramadhan. Persoalannya, kita mau mengasah spiritual kita atau tidak?> Kita bisa menapaki maqamat atau derajat-derajat spiritual, minimal sabar dan tawakkal.

Jadi jika kita lulus ujian, maka selesai bulan Ramadhan, insyaallah kita akan menjadi manusia yang sempurna. Kita telah melakukan jihad atau membangun fisik, lalu ijtihad atau membangun intelektual dan mujahadan membangun diri, menapaki tahapan-tahapan spiritual.

Memang di bulan Ramadhan ini tantangannya justru semakin besar, baik dari diri kita sendiri dan terutama dari lingkungan kita. Sederhana saja, totonan televisi justru semakin menarik di bulan Ramadhan, saat-saat kita semestinya melakukan jihad, ijtihad dan mujahadah. Namun itulah tantangannya.