Arsip untuk 03/08/2013

Alkisah, suatu hari Sayyidina Umar bin Khattab berkeliling meninjau
wilayah perkampungannya. Di tengah perjalanan, Umar melihat seorang
budak kecil yang sedang menggembala puluhan kambing.

Dalam benaknya, Umar ingin menguji kepintaran budak kecil si
penggembala kambing tersebut. Umar lalu mendekati budak itu dan
mengutarakan niatnya untuk membeli sebuah kambing yang digembala si
bocah.

“Nak, kambingmu saya beli satu boleh?” tanya Umar mengawali
perbincangannya.

“Saya ini budak, saya tidak memiliki kewenangan untuk menjual kambing
ini. Semua kambing milik majikan saya tuan,”jawab si penggembala
dengan kejujurannya.

“Meski milik majikanmu, kalau saya beli satu nanti kamu laporan kepada
majikan bahwa kambing yang kamu gembala dimakan macan satu ekor,”
timpal Umar menguji dengan pura-pura mengajari sikap berbohong.

Dalam pikiran umar, si budak ini pasti akan melepaskan satu ekor untuk
dijual kepadanya. Namun tak diduga si Budak kecil ini memberikan
jawaban lain.

“Saya tidak mau melakukan itu tuan, karena semuanya nanti bisa
kelihatan. Meski juragan (pemilikkambing) tidak tahu tetapi Allah akan
mengerti dan mengetahui yang saya lakukan,” jawab si budak tegas.

Mendengar jawaban itu, Sayyidina Umar seketika menangis seraya
menepuk-nepuk bangga di pundak punggung si budak. Dari peristiwa ini,
Sayyidina Umar mendapat ilmu dari bocah penggembala.

Hikmah kisah ini adalah bahwa Allah itu Maha Tahu. Jadi manusia
berbuat apapun meskipun tidak diketahui siapapun namun Allah tetap akan
mengerti. Maka berbuatlah yang baik-baik supaya dicatat dan mendapat
balasan kebaikan dari Allah di hari akhir kelak.

Ngakali Zakat Fitrah

Posted: 03/08/2013 in HUMOR

Otong dan Faruk merupakan santri yang mbeling (nakal) tapi cerdas di
pesantren. Mereka jarang pulang saat hari raya idul fitri. Rumah mereka
sangat jauh di pulau sebrang. Namun saat itu uang mereka untuk
melangsungkan hidup di pesantren mulai menipis. Singkat cerita:

Otong : Kang gimana kabarnya? Benar lagi lebaran ya…

As’ad : Alhamdulillah baik, iya emang kenapa Tong?

Otong : Kang saya ingin ngobrol sama sampean , soal zakat fitrah nanti
menjelang idul fitri!

As’ad : Oh enjih enjih enjih! Masalah apa yang akan kamu obrolkan dari
zakat fitrah, Tong?

Otong : mmmm, begini, gimana caranya zakat fitrah kita nanti, tapi sama
sekali kita nggak ngeluarin duit satu rupiah pun, kira-kira bisa nggak ya
kang?”

As’ad pun berpikir sejenak, tidak lama kemudian, jempol dan jari tengah
As’ad berbunyi tek tek tek , pertanda sudah dapet ide brilian,,,

As’ad: Gini Tong! Gimana kalo kamu bayar zakat fitrahnya sama saya,
terus saya zakat fitrah ke kamu dengan zakat fitrahmu tadi? Bagaimana
kira-kira? Sah kan?

Otong : oh oh oh, ya kita sama-sama berhak dapat zakat. Cerdas kamu
kang, sambil garuk-garuk kepala…..

Kapankah terjadi malam kemuliaan, malam seribu bulan, lailatul qadar?
Tidak ada yang tahu pasti. Namun tahukah kita, sebenarnya Rasulullah
Saw telah ditunjukkan ihwal kepastian akan datangnya lailatul qadar.
Hanya saja, kemudian petunjuk itu dicabut kembali.

Penjelasan tentang lailatul qadar ada dalam satu surat pendek yang sering
kita baca. Allah Swt berfirman, Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-
Qur’an pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar). Dan tahukan kamu apakah
Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada
malam itu turun malaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit
fajar (Al-Qadr [97]: 1-5).

Demikian keistimewaan malam Lailatul Qadar. Rasulullah Saw.,
sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah ra., bersabda,
Barangsiapa menghidupkan Lailatul Qadar dengan segenap iman dan
mencari ridha Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Lalu, Kapankah malam Lailatul Qadar? Seumpama dijelaskan bahwa ia
datang pada pada malam tertentu dan di bulan tertentu maka umat Islam
akan berbondong-bondong melakukan kebaikan pada malam itu. Nyatanya,
kita hanya memperoleh penjelasan bahwa ia hadir di malam ganjil pada
sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.

Namun sebenarnya Rasulullah Saw. telah ditunjukkan kepastian akan
datangnya lailatul qadar. Hanya saja, kemudian petunjuk itu dicabut oleh
Allah Swt dari diri Rasulullah lantaran waktu itu dua sahabat beliau saling
berdebat dan berbantahan tentangnya.

Diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit ra., suatu hari Rasulullah Saw.
keluar untuk memberitahukan kabar gembira tentang datangnya malam
Lailatul Qadar. Namun dua orang muslim saling berdebat mengenainya.
Lalu Rasulullah Saw. bersabda, Sesungguhnya aku keluar untuk memberi
kabar kepada kalian tentang malam lailatul qadar, akan tetapi si fulan dan
si fulan berdebat, maka diangkat kembali (kabar itu oleh Allah). Mudah-
mudahan hal ini lebih baik bagi kalian: Berpeganglah pada malam ketujuh,
kesembilan dan kelima di sepuluh malam terakhir (HR Bukhari).

Dalam riwayat lain disebutkan, Datanglah dua orang laki-laki berselisih
dan setan bersama mereka, maka aku (Rasul) dilupakan tentang malam
datangnya lailatul qadar itu (HR Muslim).

Perdebatan dan perbantahan ditimbulkan dari kedengkian dan keinginan
menolak kebenaran. Imam Ghazali menjelaskan, perdebatan ( al-mirâ` ) dan
perbantahan ( al-jadl) yang dimaksud di sini adalah penyanggahan atas
perkataan lawan bicara dengan menampakan kecacatannya.

Ada dua hal yang mendorong manusia untuk melakukan perbantahan dan
perselisihan: perbuatan yang biasa dilakukan namun sering
menjerumuskan kita kepada kesesatan ini. Pertama, syahwat ingin
menampakan ilmu dan keutamaan. Sumbernya adalah sombong dan ujub
atau merasa diri besar. Kedua , syahwat ingin menampakan kekurangan
orang lain. Sumbernya adalah kemarahan. Maka mari kita perangi dua
penyakit ini.

Ketika Islam memerintahkan jangan memakan bangkai, orang-orang
Yahudi berkata, “Kami memakan yang kami bunuh dengan pisau dari besi
dan kami tidak memakan yang dibunuh Allah dengan pisau dari emas.”
Mereka menolak syariat yang memerintahkan agar memakan binatang
yang telah disembelih atas nama Allah. Maka turunlah firman Allah Swt,
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama
Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu
adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti
mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik
(al-An’âm:[06]:121).

Maka pada hari-hari dan malam terakhir di bulan Ramadhan marilah kita
gunakan untuk mendapatkan berbagai berita-berita kebaikan sebanyak-
banyaknya kemudian mengamalkannya, bukan mendebat dan
membantahnya. Allah Swt. Berfirman, Dan sesungguhnya di dalam al-
Qur’an ini Kami telah mengulang-ulang bagi manusia bermacam-macam
perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak
membantah (al-Kahfi[18]:54).

Semoga amal ibadah kita di bulan Ramadhan diterima seluruhnya oleh
Allah Swt. dan semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung pada
malam datangnya lailatul qadar, yakni malam-malam ganjil pada sepuluh
hari terakhir di bulan Ramadhan.

Bulan Ramadhan selalu membawa “gebyar” tersendiri bagi mayoritas umat
Islam. Mereka seolah dibawa ke episode sejarah yang baru. Kesyahduan,
keinsafan, dan kerinduan akan kehidupan rohani yang lebih dalam
menyelimuti segenap aspek kegiatan.

Frekuensi ibadah cenderung meningkat dan kecintaan akan hal-hal yang
berbau Islam menemukan gairahnya. Suasana batin yang demikian
berpengaruh kepada tingkah laku, penampilan, dan gaya hidup keseharian.

Di tangan orang-orang tertentu, pergeseran budaya ini merupakan berkah
yang menguntungkan. Industri media berlomba-lomba menyuguhkan
program spesial; sejumlah tanyangan pun disulap makin “islami”,
mengikuti selera alur umum masyarakat.

Bagi pedagang, Ramadhan adalah momentum paling pas menjajakan,
misalnya, sarung, kerudung, peci, mukena, gamis, buku-buku keagamaan,
menu andalan buka puasa, dan pernak-pernik bulan puasa lainnya. Hampir
setiap produk laku keras di pasaran, bahkan termasuk barang-barang yang
tak terkait dengan kebutuhan ibadah Ramadhan. Soal harga melonjak, itu
sudah dimaklumi semua orang.

Motivasi apa yang terselip di balik semangat para pebisnis itu? Tak ada
yang bisa mengorek isi hati seseorang. Yang pasti, momentum Ramadhan
memberikan kesempatan emas untuk meraih keuntungan besar. Berbagai
strategi pemasaran dikerahkan, meski harus memaksa jualan berubah
wajah agar memikat bagi sebanyak-banyaknya konsumen.

Di poin inilah, pernyataan kaum pemodal bahwa usahanya adalah untuk
melayani dan menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen mulai rancu.

Sebab, kencangnya kampanye penawaran ternyata sanggup membentuk
opini publik tentang pengertian “kebutuhan” itu sendiri. Pada tahap ini,
masyarakatlah yang jutru menyesuaikan dirinya dengan pendapat umum
tersebut dan memungkinkan akan mengonsumsi apa yang tidak
dibutuhkannya. Membeli gadget baru menjelang lebaran, misalnya,
dianggap lebih penting ketimbang membeli buku, berderma kepada fakir
miskin, atau menabung untuk pendidikan. Peralihan dari “kebutuhan”
menjadi “keinginan” ini adalah syarat bagi tumbuhnya mental
konsumerisme.

Sikap latah kaum pebisnis juga menjangkiti para politisi. Tengok saja
pemandangan di sekitar kita. Atribut Ramadhan berupa spanduk selamat
ibadah puasa, poster nasehat-nasehat bijak, stiker doa-doa, hingga
selebaran jadwal imsakiyah jumlahnya meningkat tajam tahun ini. Partai
politik dan politisi kita andil cukup besar dalam perkembangan ini, bahkan
lebih menonjol dari kementerian agama dan ormas Islam. Maklum, 2013
ini ada 149 pilkada tingkat kabupaten dan provinsi. Belum lagi, jelang
riuh-panasnya pemilihan anggota legislatif dan presiden 2014. Format
sejumlah atribut itu hampir sama: pesan khas Ramadhan, disertai foto
terbaik “wajah alim” politisi.

Gejala ini serupa dengan fenomena di dunia pemasaran produk. Hasrat
untuk terpilih sebagai kepala daerah atau anggota legislatif mendorong
politisi untuk memompa popularitasnya habis-habisan. Seperti nalar
perusahaan, mereka berkompetisi memoles diri untuk dapat diterima oleh
selera mayoritas publik. Orang-orang yang sebelumnya sangat asing bisa
tiba-tiba muncul di poster-poster besar pingir jalan, menebar kesan
kebijaksanaan dan menjanjikan perubahan dan kesejahteraan.

Citra diri sepertinya akan selalu menjadi hal pokok di mata para politisi.
Mental semacam ini berbahaya bagi masa depan kepemimpinan. Apa yang
bisa diharapkan dari seorang pemimpin yang tak lagi mengindahkan
substansi kepemimpinan? Keadilan tak akan dapat tegak di tangan para
penguasa yang memilih diri sendiri sebagai prioritas perhatian dibanding
masyarakatnya.

Ramadhan sesungguhnya mengajak manusia untuk kembali kepada hakikat
dirinya secara utuh. Tidak salah jika bulan suci ini dikatakan sebagai
momentum penempaan diri. Bulan puasa mengarahkan manusia menjadi
pribadi-pribadi yang insaf akan muasal dan tujuan hidupnya.

Memosisikan Tuhan sebagai satu-satunya sumber dan muara dari segala
keberadaan mensyaratkan penguasaan diri dari segenap hasrat material.

Dengan demikian, memanfaatkan atmosfir spiritual Ramadhan dengan
sekadar memuaskan keinginan pribadi adalah tindakan yang kontradiktif.
Gejolak konsumerisme dan syahwat menumpuk kekayaan hanya akan
mencederai kesyahduan dan keinsafan bulan suci ini.

Demikian pula, derajat taqwa yang dijanjikan puasa melebihi prestise pada
jabatan politik manapun. Al-Qur’an menyebut orang paling taqwa sebagai
manusia termulia di mata Allah. Puasa menyadarkan kita tentang arti
sejati kekuasaan. Menguasai diri sendiri merupakan puncak prestasi.

Rasulullah menyebutnya jihad melawan hawa nafsu itu sebagai jihad
akbar.

Bukan berarti puasa memberi pesan larangan untuk menguasai harta yang
banyak atau jabatan politik tertentu. Bulan puasa memang menghadirkan
berkah, tapi juga menyuguhkan ujian. Puasa menantang manusia menjadi
penguasa untuk dirinya sendiri. Lewat jihad akbar lah manusia digembleng
memiliki ketulusan, kesabaran, kebersahajaan, kejujuran, kepedulian, dan
karakter positif lainnya. Tanpa hal itu, harta dan jabatan hanya akan
menimbulkan kemudaratan.