Bulan Ramadhan selalu membawa “gebyar” tersendiri bagi mayoritas umat
Islam. Mereka seolah dibawa ke episode sejarah yang baru. Kesyahduan,
keinsafan, dan kerinduan akan kehidupan rohani yang lebih dalam
menyelimuti segenap aspek kegiatan.
Frekuensi ibadah cenderung meningkat dan kecintaan akan hal-hal yang
berbau Islam menemukan gairahnya. Suasana batin yang demikian
berpengaruh kepada tingkah laku, penampilan, dan gaya hidup keseharian.
Di tangan orang-orang tertentu, pergeseran budaya ini merupakan berkah
yang menguntungkan. Industri media berlomba-lomba menyuguhkan
program spesial; sejumlah tanyangan pun disulap makin “islami”,
mengikuti selera alur umum masyarakat.
Bagi pedagang, Ramadhan adalah momentum paling pas menjajakan,
misalnya, sarung, kerudung, peci, mukena, gamis, buku-buku keagamaan,
menu andalan buka puasa, dan pernak-pernik bulan puasa lainnya. Hampir
setiap produk laku keras di pasaran, bahkan termasuk barang-barang yang
tak terkait dengan kebutuhan ibadah Ramadhan. Soal harga melonjak, itu
sudah dimaklumi semua orang.
Motivasi apa yang terselip di balik semangat para pebisnis itu? Tak ada
yang bisa mengorek isi hati seseorang. Yang pasti, momentum Ramadhan
memberikan kesempatan emas untuk meraih keuntungan besar. Berbagai
strategi pemasaran dikerahkan, meski harus memaksa jualan berubah
wajah agar memikat bagi sebanyak-banyaknya konsumen.
Di poin inilah, pernyataan kaum pemodal bahwa usahanya adalah untuk
melayani dan menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen mulai rancu.
Sebab, kencangnya kampanye penawaran ternyata sanggup membentuk
opini publik tentang pengertian “kebutuhan” itu sendiri. Pada tahap ini,
masyarakatlah yang jutru menyesuaikan dirinya dengan pendapat umum
tersebut dan memungkinkan akan mengonsumsi apa yang tidak
dibutuhkannya. Membeli gadget baru menjelang lebaran, misalnya,
dianggap lebih penting ketimbang membeli buku, berderma kepada fakir
miskin, atau menabung untuk pendidikan. Peralihan dari “kebutuhan”
menjadi “keinginan” ini adalah syarat bagi tumbuhnya mental
konsumerisme.
Sikap latah kaum pebisnis juga menjangkiti para politisi. Tengok saja
pemandangan di sekitar kita. Atribut Ramadhan berupa spanduk selamat
ibadah puasa, poster nasehat-nasehat bijak, stiker doa-doa, hingga
selebaran jadwal imsakiyah jumlahnya meningkat tajam tahun ini. Partai
politik dan politisi kita andil cukup besar dalam perkembangan ini, bahkan
lebih menonjol dari kementerian agama dan ormas Islam. Maklum, 2013
ini ada 149 pilkada tingkat kabupaten dan provinsi. Belum lagi, jelang
riuh-panasnya pemilihan anggota legislatif dan presiden 2014. Format
sejumlah atribut itu hampir sama: pesan khas Ramadhan, disertai foto
terbaik “wajah alim” politisi.
Gejala ini serupa dengan fenomena di dunia pemasaran produk. Hasrat
untuk terpilih sebagai kepala daerah atau anggota legislatif mendorong
politisi untuk memompa popularitasnya habis-habisan. Seperti nalar
perusahaan, mereka berkompetisi memoles diri untuk dapat diterima oleh
selera mayoritas publik. Orang-orang yang sebelumnya sangat asing bisa
tiba-tiba muncul di poster-poster besar pingir jalan, menebar kesan
kebijaksanaan dan menjanjikan perubahan dan kesejahteraan.
Citra diri sepertinya akan selalu menjadi hal pokok di mata para politisi.
Mental semacam ini berbahaya bagi masa depan kepemimpinan. Apa yang
bisa diharapkan dari seorang pemimpin yang tak lagi mengindahkan
substansi kepemimpinan? Keadilan tak akan dapat tegak di tangan para
penguasa yang memilih diri sendiri sebagai prioritas perhatian dibanding
masyarakatnya.
Ramadhan sesungguhnya mengajak manusia untuk kembali kepada hakikat
dirinya secara utuh. Tidak salah jika bulan suci ini dikatakan sebagai
momentum penempaan diri. Bulan puasa mengarahkan manusia menjadi
pribadi-pribadi yang insaf akan muasal dan tujuan hidupnya.
Memosisikan Tuhan sebagai satu-satunya sumber dan muara dari segala
keberadaan mensyaratkan penguasaan diri dari segenap hasrat material.
Dengan demikian, memanfaatkan atmosfir spiritual Ramadhan dengan
sekadar memuaskan keinginan pribadi adalah tindakan yang kontradiktif.
Gejolak konsumerisme dan syahwat menumpuk kekayaan hanya akan
mencederai kesyahduan dan keinsafan bulan suci ini.
Demikian pula, derajat taqwa yang dijanjikan puasa melebihi prestise pada
jabatan politik manapun. Al-Qur’an menyebut orang paling taqwa sebagai
manusia termulia di mata Allah. Puasa menyadarkan kita tentang arti
sejati kekuasaan. Menguasai diri sendiri merupakan puncak prestasi.
Rasulullah menyebutnya jihad melawan hawa nafsu itu sebagai jihad
akbar.
Bukan berarti puasa memberi pesan larangan untuk menguasai harta yang
banyak atau jabatan politik tertentu. Bulan puasa memang menghadirkan
berkah, tapi juga menyuguhkan ujian. Puasa menantang manusia menjadi
penguasa untuk dirinya sendiri. Lewat jihad akbar lah manusia digembleng
memiliki ketulusan, kesabaran, kebersahajaan, kejujuran, kepedulian, dan
karakter positif lainnya. Tanpa hal itu, harta dan jabatan hanya akan
menimbulkan kemudaratan.