Arsip untuk 04/08/2013

Lailatul Qadr

Posted: 04/08/2013 in UBUDIYAH

Pada malam bulan Ramadhan, khususnya pada sepuluh hari yang terakhir,
umat Islam sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal yang baik karena
pada waktu itu terdapat satu malam yang sangat mulia. Malam yang
melebihi seribu bulan. Satu malam dimana ibadah yang dilakukan oleh
seorang hamba pahalanya akan dilipatgandakan berpuluh-puluh, atau
bahkan beratus-ratus kali lipat. Nama satu malam itu yaitu Lailatul Qadr.

Apa sebenarnya lailiatul qadr itu? apa saja keistimewaan yang terdapat di
dalamnya? Kapan terjadi dan apakah tanda-tandanya kemunculannya?

Allah berfirman secara khusus dalam surat al-Qadr. Ketika menafsirkan
surat ini, Dr. Muhammad Bakr Ismail menjelaskan bahwa Allah berfirman,
“Dengan kemuliaan dan kekuasaan kami, sungguh kami menurunkan al-
Qur’an pada malam lailatul Qadr, yaitu malam kemuliaan. Tahukah
engkau, Muhammad, apakah Lailatul Qadr itu? Ia adalah satu malam,
dimana beribadah satu kali lebih baik dari beribadah seribu bulan. Para
malaikat termasuk malaikat Jibril turun (ke bumi) ketika itu dengan
membawa kebaikan dan keberkahan. Para malaikat itu mengucapkan
salam kepada orang-orang islam. Mereka berdo’a dan memintakan
ampun bagi orang-orang islam. Mereka berdo’a dan memintakan ampun
bagi orang islam sampai fajar menjelang”. ( Al-Fiqhul Wadhih minal kitab
wa sunnah, Juz 1, hal 577)

Rasulullah SAW menganjurkan untuk memperbanyak ibadah pada malam
itu, sesuai hadist Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Siapa saja yang
menghidupkan Lailatul Qadr (dengan ibadah) dilandasi iman dan ikhlas
murni karena Allah, maka dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni.
Dan barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan penuh
keimanan dan pengharapan pada Allah SWT, maka akan diampuni semua
dosa-dosanya yang telah lalu”. ( Shahih Bukhori, h.1768 )

Mengenai waktu terjadinya Lailatul Qadr, Imam Nawawi mengatakan :
“Menurut pendapat yang mashur dalam madzhab kita, bahwa
sesungguhnya Lailatul Qadr itu hanya ada pada sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan. (ada pendapat yang mengatakan) bahwa terjadinya
Lailatul Qadr tidak berpindah-pindah. Setiap tahun hanya terjadi pada
malam itu. Namun menurut pendapat mukhtar (yang dipilih oleh mayoritas
ulama) malam Lailatul Qadr dapat berpindah. Karena itu dalam satu tahun
dapat terjadi di suatu malam, dan pada tahun berikutnya terjadi pada
malam yang lain. Namun perpindahan itu tidak akan keluar dari sepuluh
hari terakhir bulan ramadhan” . ( Fatawil Imam Nawawi, 102 ).

Ibnu Rusyd, seorang filosof muslim terkenal menyebutkan dalam sebuah
karyanya, beberapa alasan mengapa malam ini disebut Lailatul Qadr.

Menurutnya, karena malam itu semua ketentuan dan ketetapan yang akan
dijalani oleh manusia untuk tahun itu diputuskan, baik berupa rizki, ajal
dan lainnya. Ketentuan ini berlaku hingga Lailatul Qadr tahun berikutnya.
( uqaddimah Ibnu Rusyd, Juz I, hal 195)

Sedangkan tanda-tanda kehadiran Lailatul Qadr, serta bagaimana
mengetahui kedatangannya, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa tanda-
tanda turunnya Lailatul Qadr adalah malam itu merupakan malam yang
terang dan bercahaya. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin.

Terkadang Allah memberitahukan pada sebagian manusia pada waktu ia
tidur ataupun ketika terjaga sehingga seorang hamba dapat melihat sendiri
cahaya Lailatul Qadr. ( Fatawil Kabir, Juz 2, hal. 476)

(dikutip dari buku “Fiqh Tradisionalis” karya KH. Muhyiddin Abdussomad )

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah, karena di dalamnya
terkandung beribu kebaikan. Tidak heran pada bulan ini semua umat Islam
berlomba-lomba mencari kebaikan, termasuk tadarus (membaca) Alquran.
Pada malam hari Ramadlan, masjid-masjid marak dengan bacaan Al-
Qur’an secara silih berganti. Tidak jarang, bacaan tersebut disambungkan
pada pengeras suara. Semua itu dilakukan dengan satu harapan: berkah
Ramadlan yang telah dijanjikan Allah SWT.

Bagaimana hukum melakukan tadarus tersebut ?

Pada bulan Ramadhan, pahala amal kebaikan akan dilipatgandakan oleh
Allah SWT. Abu Hurairah RA meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang memeriahkan bulan Ramadlan dengan ibadah/ qiyamu
ramadhan ; (dan dilakukan) dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka
akan diampuni segala dosanya yang telah lalu”. ( Shahih Bukhari, h.1870 )
Al-Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam menjelaskan, qiyam ramadhan
(dalam hadist diatas) adalah mengisi dan memeriahkan malam Ramadlan
dengan melakukan shalat dan membaca Al-Qur’an. ( Subulus Salam Juz II,
h. 173 )

Membaca Al-Quran pada malam hari di bulan Ramadhan sangat
dianjurkan oleh agama. Kemudian bagaimana jika membaca Al-Quran
secara bersama-sama, yang satu membaca dan yang lain menyimak?
Syaikh Nawawi Al-Bantani menjawab, termasuk membaca Al-Quran adalah
mudarasah, yang sering disebut dengan idarah. Yakni seseorang membaca
pada orang lain. Kemudian orang lain itu membaca pada dirinya. Yang
seperti itu tetap sunah.” ( Nihayah al-Zain, 194-195 )

Dapat disimpulkan bahwa tadarus Al-Quran yang dilakukan di masjid-
masjid pada bulan Ramadhan tidak bertentangan dengan agama dan
merupakan perbuatan yang sangat baik, karena sesuai dengan tuntunan
Rasul. Jika dirasa perlu menggunakan pengeras suara agar menambah
syiar Islam, maka hendaklah diupayakan sesuai dengan keperluan dan
jangan sampai menganggu pada lingkungannya.

Qadha Puasa untuk Orang Mati

Posted: 04/08/2013 in UBUDIYAH

Ibadah puasa merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah SWT
kepada seluruh umat Islam. Orang-orang yang telah memenuhi syarat,
wajib melaksanakannya. Jika pada satu saat orang tersebut tidak
berpuasa, baik karena ada udzur ataupun tidak, ia berkewajiban mengganti
puasa yang ditinggal tersebut pada lain hari.

Persoalannya adalah bagaimanakah jika orang itu tidak mengganti
puasanya sampai meninggal dunia ? bolehkah keluarga atau kerabatnya
menggantikan puasanya itu?
.
Ada beberapa kemungkinan orang yang meninggal dunia dan belum
mengganti puasanya.

1. Orang tersebut meninggalkan puasa karena udzur, kemudian ia
meninggal sebelum sempat mengganti puasanya. Misalnya tidak ada
waktu menqadha puasanya. Seperti orang yang meninggal dunia pada
pertengahan puasa atau pada saat hari raya. Bisa juga karena sakitnya tak
kunjung sembuh sampai meninggal.

2. tidak berpuasa karena ada udzur, tapi orang tersebut memiliki
kesempatan menqadha puasanya, namun kenyataannya ia tak mengganti
puasa yang telah ditinggalkan, baik karena malas atau lainnya

3. orang tersebut tidak berpuasa tanpa ada alasan yang dibenarkan
kemudian meninggal dunia sebelum menqadha

Pada contoh pertama, orang tersebut tidak punya kewajiban mengganti
puasanya. Sebab ia tidak berbuat lalai. Pada contoh yang kedua, orang itu
mati dengan meninggalkan hutang puasa. Maka ahli waris atau familinya
bisa menqadha’nya dengan cara: memberi makan fakir miskin atau
menqadha’ puasanya. Hokum ini juga berlaku bagi contoh ketiga di atas.

Ketentuan ini sesuai dengan sabda Nabi SAW dari Ibnu Umar. Rasulullah
SAW bersabda, barangsiapa yang mati dan dia mempunyai kewajiban
berpuasa, makahendaklah setiap hari (ahli warisnya) memberi makan
kepada fakir miskin. ( Sunan Ibnu Majah, {1747} )

Sedangkan pilihan kedua sesuai dengan sabda Nabi SAW dari Ibnu
Buraidah bahwa seorang perempuan mendatangi Nabi lalu bertanya,
“Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, sedangkan ia punya hutang
puasa. Apakah boleh saya berpuasa untuknya? “ Rasul menjawab: “Boleh”.
( Sunan Ibnu Majah, {1749} ).

Rukyatul Hilal

Posted: 04/08/2013 in UBUDIYAH

Rasulullah SAW bersabda: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal (bulan)
dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka
genapkanlah (istikmal) 30 hari. “

Berdasarkan hadits tersebut Nahdhatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam
berhaluan ahlussunnah wal jamaah (ASWAJA) yang berketetapan
mencontoh sunah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad
para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dalam hal
penentuan awal bulan Hijriyah wajib menggunakan rukyatul hilal bil fi’li ,
yaitu dengan melihat bulan secara langsung. Hukum melakukan rukyatul
hilal adalah fardlu kifayah dalam pengertian harus ada umat Islam yang
melakukannya; jika tidak maka umat Islam seluruhnya berdosa.

Bila tertutup awan atau menurut Hisab hilal masih di bawah ufuk, warga
nahdliyyin tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan
menggenapkan ( istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari. Hisab bagi NU
hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan
qamariyah. Sementara hisab juga tetap digunakan, namun hanya sebagai
alat bantu dan bukan penentu awal bulan Hijriyah.

Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan
Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:
(1)-Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak
kurang daripada 2° dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi)
tidak kurang daripada 3°. Atau (2)-Ketika bulan terbenam, umur bulan
tidak kurang daripada 8 jam selepas ijtimak/konjungsi berlaku.

Ketentuan ini berdasarkan Taqwim Standard Empat Negara Asean, yang
ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS)
Sementara itu organisasi Islam Muhammadiyah dan Persatuan Islam
(Persis) juga mengakui Rukyat sebagai awal penentu awal bulan Hijriyah.

Namun, Muhammadiyah mulai tahun 1969 tidak lagi melakukan Rukyat
dan memilih menggunakan Hisab. Muhammadiyah berpendapat rukyatul
hilal atau melihat hilal secara langsung adalah pekerjaan yang sangat sulit
sementara Islam adalah agama yang tidak berpandangan sempit, maka
hisab dapat digunakan sebagai penentu awal bulan Hijriyah.

Hisab yang dikemukakan oleh Muhammadiyah bukan untuk menentukan
atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak, sebagaimana
dilakukan NU, akan tetapi dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah
sekaligus jadi bukti bahwa bulan baru sudah masuk atau belum. Pasca
2002 Persatuan Islam (Persis) mengikuti langkah Muhammadiyah
menggunakan Kriteria Wujudul Hilal.

Sebagian muslim di Indonesia lewat organisasi-organisasi tertentu yang
mengambil jalan pintas merujuk kepada negara Arab Saudi atau
terlihatnya hilal di negara lain dalam penentuan awal bulan Hijriyah
termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Cara ini
dinamakan Rukyat Global. Penganut kriteria ini berdasarkan pada hadist
yang menyatakan, jika satu penduduk negeri melihat bulan, hendaklah
mereka semua berpuasa meski yang lain mungkin belum melihatnya.

Nishfu Sya’ban

Posted: 04/08/2013 in UBUDIYAH

BULAN SYA’BAN (bulan kedelapan dalam sistem penanggalan Hijriyah)
adalah bulan yang penuh keutamaan namun sering dilupakan umat Islam
karena bulan ini diapit oleh dua bulan utama. Pertama, bulan Rajab yang
teristimewa karena pada bulan ini terjadi peristiwa besar Isra’ dan Mi’raj
Nabi Muhammad SAW dan kemudian mulailah ada kewajiban
melaksanakan shalat lima waktu. Kedua bulan Ramadhan, saat kaum
muslimin diwajibkan menjalankan puasa sebulan suntuk dan saat pahala
kebaikan dilipatgandakan.

Sedianya bulan Sya’ban tidak dilupakan karena setelah mendapatkan
banyak pelajaran tentang Isra’ Mi’raj dan setelah membenahi shalat kita
pada akhir bulan Rajab, maka pada bulan Sya’ban saatnyalah
mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan.

Lagi pula, dalam bulan Sya’ban sendiri terdapat berbagai keistimewaan.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya
Allah SWT turun pada malam Nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban) ke
langit dunia dan akan mengampuni manusia lebih dari jumlah banyaknya
bulu kambing dan anjing. [HR Tirmizi].

Mu’az Ibn Jabal meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Pada
malam Nishfu Sya’ban. Allah akan melihat semua makhluk-Nya, kemudian
mengampuni mereka kecuali yang musyrik dan orang yang memusuhi
orang lain. [HR Sunan Ibn Majah].

Oleh para ahli hadits, dua hadits di atas dianggap yang tidak terlalu valid
alias dla’if karena ada beberapa kesimpangsiuran dalam periwayatan dan
mengenai periwayat haditsnya ( sanad). Namun guna menyemangati hamba
dalam menjalankan ibadah ( fadlailul a’mal ) para ulama membolehkan
hadits ini sebagai pegangan. Selain itu, diriwayatkan juga Rasulullah SAW
paling mencintai bulan ini dan beliau tidak melakukan puasa (selain
Ramadhan) sebanyak puasa di bulan ini [HR Ahmad dari Usamah bin
Zaid].
Nah, ada perbedaan pendapat diantara umat Islam dalam menyikapi satu
hal dalam bulan ini, yaitu yang tersebut dalam hadits di atas sebagai
Nishfu Sya’ban. Nishfu artinya setengah atau pertengahan. Nishfu Sya’ban
berarti pertengahan bulan Sya’ban atau malam tanggal 15 Sya’ban dan
esok harinya. Sebagian besar umat Islam menjalankan berbagai macam
ibadah pada malam nisfu sya’ban, namun umat Islam yang lain ada yang
tidak sepakat dan bahkan menganggap ibadah yang telah dilakukan oleh
umat Islam pada malam Nishfu Sya’ban itu sebagai ibadah yang
menyimpang atau mengada-ngada ( bid’ah ) karena tidak dicontohkan atau
diperintahkan oleh Nabi secara langsung.

Ibn al-Jauzi memopulerkan hadits dari Abi Hurairah bahwa Nabi SAW
telah bersabda: Siapa yang melakukan shalat pada malam Nishfu Sya’ban
sebanyak dua belas rakaat dan membaca qul huwallahu ahad (Surat al-
Ihlas) tiga puluh kali pada setiap rakaatnya, ia tidak akan keluar dari dunia
ini sebelum melihat tempat duduknya di dalam surga dan memberi
syafa’at sepuluh orang ahli keluarganya yang seluruh masuk neraka.
Di dalam hadits ini ada enam orang perawinya yang identitasnya kurang
lengkap ( majhul ), yaitu: Ahmad Ibn ‘Ali Al-Khatib, Abu Sahl ‘Abd As-
Samad Ibn Muhammad Al-Qantari, Abu Al-Hasan ‘Ali Ibn Ahmad Al-
Yunani, Ahmad Ibn ‘Abd Allah Ibn Dawud, Muhammad Ibn Jabhan, dan
‘Umar Ibn Ar-Rahim.

Hadits lain ditakhrij oleh oleh Imam As-Suyuti bahwa Ibrahim
meriwayatkan ‘Ali Ibn Abi Talib melihat Rasulullah pada malam Nishfu
Sya’ban berdiri lalu beliau melakukan shalat empat belas rakaat. Setelah
selesai lalu Nabi duduk kemudian membaca ummul Qur’an (Surat Al-
Fatihah) empat belas kali, qul huwallahu ahad (Surat al-Ihlas) empat belas
kali, ayat kursi satu kali. Ketika Nabi selesai shalat Ali bertanya tentang
apa yang telah dia lihat. Rasulullah SAW lalu bersabda: “Siapa yang
melakukan yang seperti apa yang telah engkau lihat, adalah baginya
seperti dua puluh kali mengerjakan haji yang mabrur (sempurna), puasa
dua puluh tahun yang maqbul (diterima), dan jika ia puasa pada siangnya,
ia seperti puasa enam puluh tahun yang sudah lalu dan setahun yang akan
datang.

Hadits yang tersebut di atas juga menyandung tujuh orang perawinya yang
majhul bahkan ada seorang perawi yang dianggap sebagai pemalsu hadits
yaitu Muhammad Ibn al-Muhajir sebagaimana penilaian yang dikemukakan
oleh As-Suyuti sendiri.

Dengan demikian hadits-hadits yang menjelaskan ibadah yang
dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW seperti di atas adalah dla’if. Para
ulama menyatakan bahwa hadits dla’if dapat diamalkan dan diikuti
sebatas sebagai penyemangat ibadah ( fadailul a’mal ), berisi nasihat-
nasihat dan cerita-cerita baik, bukan untuk menentukan halal dan haram
dan tidak berhubungan dengan sifat-sifat Allah SWT. Pendapat ini
diperpegangi oleh Ahmad Ibn Hanbal, an-Nawawi, Ibn Hajar al-Asqalani,
As-Suyuti, dan lainnya.

Perdebatan di kalangan umat Islam juga semakin mendalam ketika ada
kalangan umat Islam lainya yang tidak menyia-nyiakan malam nisfu
Sya’ban untuk melakukan beberapa keutamaan seperti membaca surat
yasin dan tahlil. Bagi kalangan yang terlalu kaku menganggap ibadah ini
mengada-ngada karena jelas-jelas tidak ada hadits yang dloif sekalipun.
Kalangan yang tersebut barusan tidak melakukan ibadah apapun yang
pada waktu-waktu tertentu tidak dilakukan, diperintahkan atau dianjurkan
oleh Nabi Muhammad SAW.