Bertakbirlah 4 Kali atas Kematian Orang Tak Mau Belajar

Posted: 11/08/2013 in HIKMAH

Dalam sebuah halaqoh, terjadilah diskusi antara guru dan para muridnya
mengenai kemuliaan ilmu. Salah seorang murid mengajukan pertanyaan
kepada sang guru, “Wahai guru, berikanlah alasan kenapa ilmu bisa
memuliakan seseorang yang memilikinya?”

Sang guru tersenyum lirih seraya menjawab, “Dari dirimu sendiri, engkau
bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu dan membuktikan bahwa
ilmu dapat memuliakan pemiliknya. Pada hakikatnya, engkau akan senang
ketika ada seseorang yang memujimu karena keluasan ilmu yang engkau
miliki. Demikian sebaliknya, engkau akan sedih dan marah ketika ada
seseorang mencela keterbatasan ilmu yang ada dalam dirimu”.

Mendengar jawaban sang guru, murid itu akhirnya dapat memahami
bahwa ilmu dapat mengangkat derajat seseorang. Artinya, orang yang
berilmu lebih tinggi derajatnya beberapa tingkat daripada orang yang tidak
berilmu.

Perlu diketahui bahwa tokoh sang guru dalam penggalan cerita di atas
adalah Imam Syafi’i, seorang ulama kenamaan yang benar-benar alim dan
mafhum mengenai substansi ilmu. Tentunya ini bukan hal yang
mengherankan karena jika kita telusuri sejarah hidupnya, maka kita akan
tahu bahwa beliau ini adalah seorang manusia yang menjalankan “ thalabul
‘ilmi minal mahdi ilal lahdi ” (menuntut ilmu dari buaian hingga liang
lahat).

Sehingga, dari beliau kita dapat menelusuri tentang sebab kemuliaan ilmu.
Dalam kitab Diwan Imam Syafi’i, beliau pernah berkata:
“Belajarlah! Karena tak seorang pun yang terlahir sebagai ilmuwan.
Seorang yang berilmu, tak sama dengan orang yang bodoh. Pembesar
suatu kaum jika bodoh, akan menjadi kecil saat pembesar berkumpul.
Orang kecil jika pandai, akan tampak besar saat berada dalam
perkumpulan.”

Sungguh dalam nasihat di atas yang telah dikemukakan oleh Imam Syafi’i,
menggambarkan bahwa kemuliaan ilmu tidak serta merta diraih secara
mudah dan singkat. Tapi, perlu adanya usaha dari sang pendamba ilmu
itu. Usaha yang dimaksud adalah belajar dengan giat dan tekun. Sejalan
dengan sabda Nabi: Uthlubul ‘ilma walau bis shin (tuntutlah ilmu sampai
ke negeri China).

Pada masa itu, China dianggap sebagai negeri yang paling jauh, sehingga
pesan yang dapat kita serap dari hadits Nabi di atas adalah “belajarlah
setinggi-tingginya, jangan kamu jadikan jarak suatu negeri dan negeri lain
yang berjauhan sebagai alasan yang membuatmu menyerah dalam
menuntut ilmu”.

Terkadang dalam upaya mencari ilmu, ditemukan kesulitan, rintangan,
serta “kegalauan” yang mengiringi para penuntut ilmu. Jika dikaitkan
dengan penyakit “galau” yang melanda anak muda jaman sekarang,
kegalauan yang sering dialami para pemuda di bangku sekolah adalah
menerima sikap yang tidak mengenakkan dari guru.

Mungkin, bagi mereka guru terlalu keras dalam mengajar, otoriter, tidak
demokratis, seenak’e dhewe, pilih kasih, dan lain sebagainya. Tapi,
janganlah semua itu dijadikan sebagai penghambat. Sebaliknya, jadikanlah
semua itu sebagai motivasi. Imam Syafi’i dalam kitab Diwannya berkata:
“Bersabarlah atas pahitnya sikap kurang mengenakkan dari guru, Karena
sesungguhnya endapan ilmu adalah dengan menyertainya. Barangsiapa
yang belum merasakan pahitnya belajar meski sesaat, Maka akan
menahan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya. Barangsiapa yang tidak
belajar di waktu mudanya, bertakbirlah 4 kali atas kematiannya. Eksistensi
seorang pemuda – Demi Allah – adalah dengan ilmu dan ketakwaan. Jika
keduanya tidak ada padanya, maka tidak ada jati diri padanya.”

Dari nasihat Imam Syafi’i di atas, ketika menghadapi sikap yang kurang
mengenakkan dari guru, kuncinya adalah sabar. Sebagaimana pepatah
Arab mengatakan “ man shabara dhafira ” (barangsiapa bersabar,
beruntunglah dia), ini juga sejalan dengan firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 45: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya keduanya itu sulit untuk dilakukan, kecuali bagi orang-orang
yang khusyu”.

Shalat di sini, maksudnya adalah do’a. Dalam menunjukkan shalat dan
sabar dalam ayat tersebut, digunakan kata ganti tunggal fainnaha bukan
fainnahuma. Ini menunjukkan keharusan menggerakkan shalat dan sabar
dalam satu gerakan kesatuan, tidak memisahkan diantara keduanya.

Kemudian, untuk menjadikan ilmu yang kita punya itu bernilai penuh
kemuliaan, maka amalkanlah ilmu itu sehingga bermanfaat bagi orang
lain. Nabi s.a.w pernah bersabda: “ Khairun naas anfa’uhum lin naas .

Sebaik-baik manusia adalah yang memiliki manfaat kepada manusia lain.”
Sehingga dengan ilmu, kita dapat memetik manfaat bagi diri sendiri
maupun orang lain yang ada di sekitar kita, sebagaimana pepatah Arab
mengatakan bahwa “al-‘ilmu bilaa ‘amalin kas syajari bilaa tsamarin”,
artinya adalah: ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon yang tidak
berbuah.

Selain belajar, bersabar dan berdoa, ada indikator lain yang perlu
diperhatikan dalam menuntut ilmu, yakni ikhlas. Sebagaimana Imam
Ghazali dalam Ihya Ulumuddin-nya pernah berkata: “Manusia pada
hakikatnya mati, kecuali orang yang alim. Orang yang alim walaupun hidup
pada hakikatnya tidur, kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Orang
yang mengamalkan ilmunya banyak yang tertipu, kecuali orang yang
ikhlas”.

Tepat apa yang dikatakan oleh Imam Ghazali, ikhlas adalah kunci utama
dalam menuntut ilmu dan menjadi tolak ukur seberapa tinggi kemuliaan
ilmu yang dimiliki oleh seseorang. Tanpa ikhlas, upaya belajar, bersabar,
dan berdoa yang telah dilakukan tidak akan ada artinya. Ikhlas juga
merupakan sebab kemuliaan ilmu yang dimiliki manusia di mata Allah.

Wallahu a’lam bis shawab.

Tinggalkan komentar