Idul Fitri vs. Prilaku Konsumtif

Posted: 11/08/2013 in TAUSHIYAH

Di tengah rasa bahagia menyambut hari raya Idul Fitri, lihat betapa pasar,
swalayan, supermarket dan mal-mal menjadi lebih menarik untuk
dikunjungi ketimbang tempat-tempat peribadatan. Bahkan tampaknya,
pusat-pusat perbelanjaan ini telah menjadi tempat ibadah itu sendiri
Belanja besar-besaran seakan merupakan ekspresi keberagamaan mereka,
dalam menyambut datangnya hari kemenangan.

Tidak! Menyambut Idul Fitri bukan dengan cara menghambur-hamburkan
harta.

Kita mengenal istilah konsumerisme, yakni sebuah ajaran yang
mengarahkan kita menjadi objek bahkan korban dari berbagai inovasi
produk-produk baru yang diciptakan oleh para pemodal dan pedagang;
menjadikan kita merasa membutuhkan sesuatu yang sesungguhnya tidak
kita butuhkan. Singkatnya konsumerisme mengarahkan kita untuk
mengkonsumsi sesuatu secara tidak wajar, entah itu barang-barang fisik
ataupun berupa gaya hidup ( live style ).

Konsumerisme tidak terlepas dari banyaknya model satu produk yang
diciptakan, ditambah banyaknya fasilitas penunjangnya. Juga tidak lepas
dari peran media informasi yang kemudian berubah bentuk menjadi media
iklan. Melalui media iklan, kehausan manusia akan informasi telah
mengantarkan kita pada bentuk kecanduan sesuatu di luar batas
kebutuhan kita.

Tak peduli sekalipun penghasilan dan anggaran keuangan keluarga tak
mencukupi, yang penting bisa memborong hal-hal yang diinginkan
merupakan kepuasan. Ditambah decak kagum dan sorot mata
kecemburuan yang dikombinasi dengan komentar ”wah” dari para tetangga
mampu membawa kita ke alam konsumerisme ini.
.
Konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru. Sebab pada dasarnya ajaran
yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar
kuat di dalam kemanusiaan kita ( our humanity ). Hal ini bisa kita lihat dari
ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman
modern ini.

Tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas
( never-ending-discontentment ) dengan hal-hal yang telah mereka miliki,
ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi
untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat
pola hidup konsumerisme semakin subur dan berkembang amat cepat
saja.

Pola hidup konsumerisme ini tak ubahnya virus yang yang mampu
menular dengan amat halus dari satu individu ke individu lainnya. Apalagi
bila budaya gengsi, pamor dan status sosial-keningratan masih saja
dijadikan patokan untuk menilai kemanusiaan seseorang.

Konsumerisme ini telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan
manusia di jaman ini. Sayangnya perubahan yang terjadi ini, lebih
menjurus pada hal-hal yang bersifat negatif dan menyengsarakan hidup
manusia itu sendiri.

Nah, orang-orang yang beragama yang sudah terkena virus konsumerisme
itu sering membuat-buat semacam alasan untuk memenuhi kebutuhan
konsumerisnya. Dia beralasan mengkunsumsi ini dan itu dengan alasan
untuk menjalankan perintah agama: agar lebih mudah menjalankan
pengabdian kepada Allah SWT, tapi ternyata tidak. Alasan keagamaan
hanya menjadi tameng.

Budaya konsumtif yang sementara ini menjadi penyakit yang sangat akut
di negeri ini adalah sebab warganya terutama umat islamnya tidak
menjalankan ajaran agama secara benar. Warga yang taat beragama
seharusnya tidak akan dikejar-kejar oleh gemerlap produk-produk baru,
terutama yang bermerek dari negeri sebrang.

Lebih luas lagi, masyarakat dan bangsa Indonesia masih terlalu
bergantung kepada bangsa lain. Bangsa Indonesia kurang rela menerima
apa adanya dan mendayagunakan anugerah yang telah diterima. Ini
berbahaya. Apalagi jika ketergantungan itu justru terkait dengan produk-
produk konsumsi yang sesungguhnya remeh dan tidak penting.

Ada baiknya kita mengulang kembali pelajaran tentang qona’ah , menerima
apa adanya, menikmati harta dunia secukupnya. Rasulullah SAW
menyatakan, orang yang tidak qona’ah akan mencari gunung emas yang
kedua, ketiga dan seterusnya, jika dia telah mendapatkan satu gunung
emas. Maka setidaknya ajaran mengenai qana’ah ini bisa mengerem
prilaku konsumtif kita.

Kita yang bekerja keras sepanjang tahun semestinya bisa memanage harta
benda yang kita cari sepanjang tahun. Hasil keringat kita mestinya bisa
ditasharufkan untuk sesuatu yang lebih berguna untuk diri kita, keluarga
kita dan masyarakat sekitar kita. Anda yang mudik berlebaran ke kampung
halaman tidak perlu memanjakan keluarga di kampung dengan mengajak
berbelanja habis-habisan berbagai barang konsumsi. Mestinya uang THR
yang kita persiapkan, atau apapun namanya, bisa diberdayakan dalam
bentuk usaha produktif untuk bisa dijalankan oleh keluarga atau
masyarakat kampung kita.

Tinggalkan komentar