Menggapai Lailatul Qadar

Posted: 11/08/2013 in TAUSHIYAH

Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa lailatul qadr merupakan suatu malam
pada bulan Ramadhan yang begitu istimewa hingga melebihi perbandingan
1000 bulan (30.000 kali malam biasa). Karenanya, tidak sedikit dari umat
Islam yang mendamba dan memburunya, lebih-lebih di sepuluh hari
terakhir Ramadhan.

Merujuk pada definisi dari lailatul qadr itu sendiri setidaknya ada tiga
pemaknaan dari kata al-qadr yang digunakan para ulama’. Pertama,
penetapan dan pengaturan, sehingga lailatul qadr difahami sebagai malam
penetapan Allah bagi perjalanan hidup seseorang ke depan.

Kedua, kemuliaan. Makna kemuliaan ini karena dalam Al-Qur’an
disebutkan bahwa malam itu diturunkan juga Al-Qur’an. Meminjam
istilahnya Quraish Shihab bahwa lailatul qadr itu mulia karena menjadi titik
tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih (Quraish Shihab, 2013: 489).

Ketiga, sempit. Makna sempit ini merujuk karena pada malam itu bumi
disesaki para malaikat yang diperintah Allah untuk mengatur segala urusan
—termasuk urusan duniawi umat manusia.

Meski para ulama’ berbeda pendapat dari pemaknaan al-qadr itu sendiri,
namun dari tiga pemaknaan tersebut setidaknya bisa disatukan sehingga
kesemuanya menjadi benar, bahwa lailatul qadr adalah malam yang mulia,
yang bila seseorang dapat meraihnya maka masa depannya akan
tertetapkan, di mana masa depannya akan damai dan tenang sesuai
dengan pengaturan para malaikat yang pada malam itu turun memadati
bumi. Hal inilah yang oleh Muhammad Abduh diistilahkan dengan khittah
yang dapat melepaskan umat manusia dari kerusakan dan kehancuran
yang seringkali membelenggu dalam kehidupannya.

Dari pemaknaan ini, maka bisa dipastikan bahwa untuk bisa meraihnya
tidaklah mudah dan tidak cukup dengan hanya tidak tidur semalaman.
Untuk bisa menggapainya dibutuhkan keintiman pribadi antara seorang
muslim dengan Allah, di mana untuk menjalin keintiman tersebut
dibutuhkan kesucian jiwa seseorang. Ibarat air dan minyak, keduanya tidak
akan menyatu dan bertemu di mana pun dan kapan pun. Kebaikan dan
kemuliaan lailatul qadr tidak akan diperoleh kecuali oleh orang-orang
tertentu yang telah menyucikan jiwanya guna menyambut lailatul qadr.

Karena itulah Rasulullah menduga kuat bahwa lailatul qadr akan datang
pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan—meskipun juga besar
kemungkinan ia juga datang sebelum itu, bahkan malam pertama
Ramadhan. Dugaan Rasulullah ini dirasionalisasikan karena pada sepuluh
malam terakhir Ramadhan diharapkan jiwa manusia yang telah berpuasa
selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran
dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir
menemuinya.

Untuk menggapainya, ada ada dua hal yang diajarkan Rasulullah untuk
menjadi bekal agar pada diri manusia tertaman jiwa yang suci dan lailatul
qadr-pun berhasil kita gapai. Pertama, merenung. Dalam artian merenung
untuk kesucian jiwa, baik untuk diri sendiri maupun untuk umum
(masyarakat). Hal ini, dikarenakan jika jiwa seseorang sudah suci, maka
malaikat tidak akan ragu untuk membimbing seseorang tidak hanya
sampai terbitnya fajar pada malam al-qadr saja, tapi sampai akhir
hayatnya nanti.

Dalam sejarah disebutkan bahwa malam al-qadr yang menemui Rasulullah
pertama kali yaitu ketika Rasulullah sedang menyendiri di Gua Hira
merenungi tentang diri dan umatnya. Ketika jiwa Rasulullah telah mencapai
kesuciannya, turunlah malaikat Jibril membawa ajaran dan
membimbingnya sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan
hidupnya dan hidup umat manusia.

Hemat penulis, Gua Hira yang menjadi tempat merenung Rasulullah pada
waktu itu, jika dikontekstualisasikan dengan masa kini, tidak ubahnya
adalah masjid. Hal ini di samping karena masjid merupakan tempat yang
suci, juga karena dari masjid semua kebajikan bermula. Di masjid
seseorang bisa dapat menghindar dari segala urusan dunia yang dapat
menyesakkan jiwa dan pikiran dengan fokus men- charge kejiwaan dan
keimanan seseorang yang seringkali naik-turun.

Kedua, iktikaf. Iktikaf yang berarti berdiam di masjid dengan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah dicontohkan oleh Rasulullah lebih-lebih di
malam sepeluh terakhir bulan Ramadhan, di mana Rasulullah tidak pernah
meninggalkannya. Dalam diam di masjid itu Rasulullah bertadarus,
merenung, dan berdoa.

Merujuk pada penuturan Aisyah, bahwa doa Rasulullah dalam menyambut
lailatul qadr tidak lain adalah doa sapujagat; rabbana atina fiddunya
hasanah, wa fil akhirati hasanah waqina ‘adzabannar (wahai Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dak di akhirat dan
periharalah kami dari siksa neraka).

Terdapat filosofi mendalam dari doa sapujagat ini, di mana jika dimaknai
lebih mendalam lagi, ia tidaklah sekedar permohonan untuk memperoleh
kebajikan di dunia dan akhirat, tapi lebih dari itu doa ini bertujuan untuk
menetapkan langkah ( action ) dalam berupaya meraih kebajikan, dengan
langkah konkrit untuk menjadikan kebajikan dan kebahagian tidak hanya
berdampak di dunia, tapi juga di akhirat kelak.

Jika kita bisa mengimbangi puasa kita dengan dua hal yang diajarkan
Rasulullah di atas, tentunya dengan mudah kita bisa menggapai malam
kemuliaan tersebut dengan penuh kedamaian hidup dan akan tercipta
kesalehan jiwa yang berkelanjutan. Wallahu a’lam bis shawab…

Tinggalkan komentar