Perang Melawan Hawa Nafsu Belum Usai

Posted: 11/08/2013 in TAUSHIYAH

Idul Fitri merupakan puncak dari rangkaian ibadah puasa. Ketika hilal
dapat dilihat di penghujung bulan Ramadhan maka di hari itu juga seluruh
umat Islam diharuskan untuk berbuka dan melaksanakan shalat hari raya
sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “La tashumu hatta tarawul hilal wala
tufthiru hatta tarauhu”. Artinya: Janganlah kalian berpuasa kecuali kalian
melihat hilal (bulan) dan janganlah kalian berbuka kecuali melihatnya
( hilal)”.

Demikianlah, sesuai dengan makna harfiyahnya. Idul fitri = hari berbuka,
maka di hari ini kewajiban umat Islam menahan diri dari makan dan
minum secara hawa nafsu sepanjang bulan Ramadhan telah selesai.
Bahkan puasa tepat di hari ini sama sekali tidak diijinkan atas alasan
apapun juga.

Namun apakah perang melawan hawa nafsi telah selesai? Tentu tidak.
Satu bulan puasa hanya merupakan latihan untuk menjadi manusia yang
lebih baik lagi pada bulan-bulan berikutnya.

Akan tetapi dengan selesainya kewajiban puasa, bukan berarti seluruh
umat Islam bisa berpesta pora dan meluapkan segala keinginan yang
sebelumnya sempat tertahan di bulan puasa. Karena jika hal itu terjadi
maka latihan pengendalian diri selama Ramadhan tidak berhasil dengan
baik.

Terlebih lagi jika Idul Fitri dianggap sebagai hari raya kebebasan untuk
makan dan minum dan berpesta pora maka dikhawatirkan kita akan
menjadi terlampau berlebihan sehingga melanggar larangan Allah: Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu di setiap (memasuki) mesjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A’raf 7: 31) .

Dengan kata lain, dalam ayat ini, Allah memperingatkan kita untuk hidup
bersahaja dan jauh dari prilaku konsumtif, baik dalam sandang pangan
maupun papan. Tidak perlu membeli pakaian yang mahal-mahal serta
berpesta pora dalam hal makanan dan minuman.

Dalam konteks Idul Fitri kali ini, sikap berlebih-lebihan dan konsumtif
kiranya tidak seharusnya ditumbuhkembangkan. Karena bagaimanapun
juga, ibadah puasa merupakan ibadah yang ditujukan untuk membersihkan
diri dan mengendalikan keinginan kita menjadi makhluk yang konsumeris.
Sebaliknya, Ibadah puasa menyokong kita untuk merasakan
ketidakberdayaan orang-orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan
makan dan minum mereka sehari-hari.

Oleh sebab itu, tidak selayaknya kita mengenakan pakaian yang sangat
mahal ketika umat Islam yang lain tidak dapat membelinya. Karena hal
tersebut sama saja dengan memperdalam jurang kesenjangan sosial yang
di bulan puasa ingin dikikis dari kehidupan sosial kita.

Yang seharusnya dikembangkan dalam situasi dan kondisi bangsa dan
masyarakat kita yang hidup dalam keprihatinan ini adalah sikap kita untuk
kembali kepada spirit kemanusiaan. Semangat untuk memandang diri kita
sama dengan anggota masyarakat yang lain tanpa membeda-bedakan si
kaya dan si miskin. Lebih jauh, semangat memandang diri kita sebagai
bagian dari kehidupan orang lain dan melihat kehidupan orang lain sebagai
bagian dari kehidupan kita sendiri.

Dengan demikian, maka Idul Fitri tahun ini, dapat mempererat tali
silaturrahim di seluruh lapisan masyarakat, menekan kerakusan terhadap
materi atau pola hidup konsumeristik serta menggantikannya dengan
keinginan untuk saling berbagi serta memperkukuh kembali bangunan
umat Islam sebagai satu bangunan yang utuh. Amin ya Rabbal ‘Alalamin .

Tinggalkan komentar