Arsip untuk Agustus, 2013

Puasa Tarwiyah dan Arafah

Posted: 27/08/2013 in UBUDIYAH
PUASA ARAFAH adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 Dzulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa-puasa lainnya.
Keutamaan puasa Arafah ini seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Rahimahullah. Rasulullah SAW bersabda:

صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية

Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim)
Sementara puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan hadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla’ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء

Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)
Puasa Arafah dan tarwiyah sangat dianjurkan untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jemaah haji sedang menjalankan ibadah di tanah suci.
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR Bukhari Muslim).

Mengamalkan Ajaran Thariqah

Posted: 27/08/2013 in UBUDIYAH
THORIQOH atau tarekat berarti “jalan”. Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan (thariqoh) terdekat kepada Allah yang paling mudah bagi hamba-hambanya dan yang paling utama bagi Allah!” Rasulullah SAW bersabda: “Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi masih terdapat orang yang mengucapkan lafadz “Allah”.” (dalam kitab Al-Ma’arif Al-Muhammadiyah).
Para ulama menjelaskan arti kata thariqah dalam kalimat aktif, yakni melaksanakan kewajiban dan kesunatan atau keutamaan, meninggalkan larangan, menghindari perbuatan mubah (yang diperbolehkan) namun tidak bermanfaat, sangat berhati-hati dalam menjaga diri dari hal-hal yang tidak disenangi Allah dan yang meragukan (syubhat), sebagaimana orang-orang yang mengasingkan diri dari persoalan dunia dengan memperbanyak ibadah sunat pada malam hari, berpuasa sunat, dan tidak mengucapkan kata-kata yang tidak beguna. [dalam kitab Muroqil Ubudiyah fi Syarhi Bidayatil Hidayah Imam Ghazali]
Thariqoh yang dimaksud dalam pembicaraan ini lebih mengacu kepada peristilahan umum yang berlaku dikalangan umat Islam di seluruh dunia, khususnya warga NU, yakni semacam aliran dalam tasawuf (berbeda dengan mistik atau klenik) yang mengharuskan para pengikutnya menjalankan amalan peribadatan tertentu secara rutin –biasanya berupa bacaan atau wiridan khusus– yang dipandu oleh seorang guru atau mursyid. Hadits yang disebutkan di atas sekaligus menjadi dalil naqli diperbolekannya ajaran-ajaran thoriqoh.
Para murid yang mengikuti aliran thoriqoh tertentu sedianya berniat belajar membersihkan hati dengan bantuan guru atau mursyid mereka dengan cara menjalankan amalan-amalan dan doa-doa khusus. Jika mereka masih awam dalam masalah keagaman dasar seperti masalah wudlu, sholat, puasa, nikah dan waris, maka mereka sekaligus belajar itu kepada sang mursyid. Para murid berbai’at atau mengucapkan janji setia untuk menjalankan amalan-amalan thariqoh yang dibimbing oleh sang mursyid. Bai’at thariqoh adalah berjanji dzikrullah dalam bacaan dan jumlah tertentu kepada guru dan berjanji mengamalkan ajaran islam dan meninggalkan larangannya. Sebagaimana bermadzab atau mengikuti imam tertentu dalam bidang fikih, para murid tidak diperkenankan berpindah thoriqoh kecuali dengan pertimbangan yang jelas dan mampu melaksanakan semua amalan thoriqohnya yang baru.
Sementara itu sang mursyid wajib menyayangi, membimbing, dan membantu membersihkan hati murid-muridnya dari kotoran dunia. Mursyid harus memiliki sifat kasih sayang yang tinggi terhadap kaum muslimin, khususnya terhadap murid-muridnya. Ketika ia mengetahui mereka belum mampu melawan hawa nafsu mereka dan belum mampu meninggalkan kejelekan, misalnya, maka ia harus bersikap toleran. Setelah ia menasihati mereka dan tidak memutus mereka dari thoriqah, juga tidak mengklaim mereka celaka, melainkan senantiasa menyayangi mereka sampai mereka mendapatkan hidayah.
Demikian syarat seorang mursyid yang disebutkan dalam kitab Tanwirul Qulub. Mursyid harus arif dalam hal kesempurnaan hati, adab-adabnya, dan bersih dari penyakit-penyakit hati. Mursyid juga harus memiliki ilmu yang dibutuhkan oleh murid-murdnya, yaitu fikih dan aqa’id tauhid dalam batas-batas yang bisa menghilangkan kemusyrikan dan ketidakjelasan yang dihadapi oleh mereka di tingkat awal, sehingga mereka tidak perlu bertanya kepada orang lain.
Ada beberapa thoriqoh yang berkembang di Indonesia. Yang paling banyak pengikutnya, antara lain, Qodiriyah, Naqsabandiyah, Qodiriyah wan Naqsbandiyah, Syadziliyah. Dalam Muktamanya ke-26 di Semarang pada bulan Rajab 1399 H bertepatan dengan bulan Juni 1979 Nahdlatul Ulama meresmikan berdirinya Jam’iyyah Ahlit Thariqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah dan dikukuhkan dengan suat keputusan PB Syuriah NU Nomor: 137/Syur.PB/V/1980). Jam’iyyah ini beranggotakan beberapa thariqot di Indonesia yang mu’tabaroh dan nahdliyah.
Mu’tabaroh artinya thariqoh yang dimaksud bersambung ajarannya kepada Rasulullah SAW. Sementara Rasulullah menerima ajaran dari malaikat Jibril dan Malaikat Jibril dari Allah SWT. Nahdliyah maksudnya adalah bahwa para penganutnya selalu bergerak untuk melaksanakan ibadah dan dzikir kepada Allah SWT yang syariatnya menurut ahlussunnah wal jama’ah ‘ala madzahibil arba’ah (sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Sabahat Beliau dan disejalaskan oleh imam Madzab empat yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali).
Jam’iyyah Ahlit Thariqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah sering mengadakan perkumpulan untuk membahas persolan-persoalan keagamaan, khususnya berkaitan dengan thoriqoh. Jam’iyyah ini juga berfungsi untuk saling memberikan masukan dan sekaligus membedakan diri dengan aliran-aliran kebatinan yang tidak muk’tabar dan tidak berdasar pada ajaran Rasulullah SAW.
Para pengamal thoriqoh senantiasa menjauhkan diri dari kehidupan duniawi yang fana; membersihkan hati; mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sang mursyid dan murid-muridnya tidak diperkenankan menggandrungi harta benda. Juga kekuasaan. Ada satu hadits Rasulullah SAW yang menjadi pegangan para pengamal thariqoh. Ibn Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Di antara qari’ atau orang yang hafal Al-Qur’an dan memahami maknanya yang paling dibenci oleh Allah adalah qari’ yang mengunjungi umara (penguasa).”

Begitu bencinya mereka dengan ususan duniawi. Para pengkritik mengatakan bahwa thariqoh adalah sumber kemunduran umat Islam. Namun dengan penuh kebijaksanaan para pengamal thoriqoh menjawab bahwa para pengkritik belum merasakan betapa nikmatnya berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah Sang pencipta.

Dalam sebuah halaqoh, terjadilah diskusi antara guru dan para muridnya
mengenai kemuliaan ilmu. Salah seorang murid mengajukan pertanyaan
kepada sang guru, “Wahai guru, berikanlah alasan kenapa ilmu bisa
memuliakan seseorang yang memilikinya?”

Sang guru tersenyum lirih seraya menjawab, “Dari dirimu sendiri, engkau
bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu dan membuktikan bahwa
ilmu dapat memuliakan pemiliknya. Pada hakikatnya, engkau akan senang
ketika ada seseorang yang memujimu karena keluasan ilmu yang engkau
miliki. Demikian sebaliknya, engkau akan sedih dan marah ketika ada
seseorang mencela keterbatasan ilmu yang ada dalam dirimu”.

Mendengar jawaban sang guru, murid itu akhirnya dapat memahami
bahwa ilmu dapat mengangkat derajat seseorang. Artinya, orang yang
berilmu lebih tinggi derajatnya beberapa tingkat daripada orang yang tidak
berilmu.

Perlu diketahui bahwa tokoh sang guru dalam penggalan cerita di atas
adalah Imam Syafi’i, seorang ulama kenamaan yang benar-benar alim dan
mafhum mengenai substansi ilmu. Tentunya ini bukan hal yang
mengherankan karena jika kita telusuri sejarah hidupnya, maka kita akan
tahu bahwa beliau ini adalah seorang manusia yang menjalankan “ thalabul
‘ilmi minal mahdi ilal lahdi ” (menuntut ilmu dari buaian hingga liang
lahat).

Sehingga, dari beliau kita dapat menelusuri tentang sebab kemuliaan ilmu.
Dalam kitab Diwan Imam Syafi’i, beliau pernah berkata:
“Belajarlah! Karena tak seorang pun yang terlahir sebagai ilmuwan.
Seorang yang berilmu, tak sama dengan orang yang bodoh. Pembesar
suatu kaum jika bodoh, akan menjadi kecil saat pembesar berkumpul.
Orang kecil jika pandai, akan tampak besar saat berada dalam
perkumpulan.”

Sungguh dalam nasihat di atas yang telah dikemukakan oleh Imam Syafi’i,
menggambarkan bahwa kemuliaan ilmu tidak serta merta diraih secara
mudah dan singkat. Tapi, perlu adanya usaha dari sang pendamba ilmu
itu. Usaha yang dimaksud adalah belajar dengan giat dan tekun. Sejalan
dengan sabda Nabi: Uthlubul ‘ilma walau bis shin (tuntutlah ilmu sampai
ke negeri China).

Pada masa itu, China dianggap sebagai negeri yang paling jauh, sehingga
pesan yang dapat kita serap dari hadits Nabi di atas adalah “belajarlah
setinggi-tingginya, jangan kamu jadikan jarak suatu negeri dan negeri lain
yang berjauhan sebagai alasan yang membuatmu menyerah dalam
menuntut ilmu”.

Terkadang dalam upaya mencari ilmu, ditemukan kesulitan, rintangan,
serta “kegalauan” yang mengiringi para penuntut ilmu. Jika dikaitkan
dengan penyakit “galau” yang melanda anak muda jaman sekarang,
kegalauan yang sering dialami para pemuda di bangku sekolah adalah
menerima sikap yang tidak mengenakkan dari guru.

Mungkin, bagi mereka guru terlalu keras dalam mengajar, otoriter, tidak
demokratis, seenak’e dhewe, pilih kasih, dan lain sebagainya. Tapi,
janganlah semua itu dijadikan sebagai penghambat. Sebaliknya, jadikanlah
semua itu sebagai motivasi. Imam Syafi’i dalam kitab Diwannya berkata:
“Bersabarlah atas pahitnya sikap kurang mengenakkan dari guru, Karena
sesungguhnya endapan ilmu adalah dengan menyertainya. Barangsiapa
yang belum merasakan pahitnya belajar meski sesaat, Maka akan
menahan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya. Barangsiapa yang tidak
belajar di waktu mudanya, bertakbirlah 4 kali atas kematiannya. Eksistensi
seorang pemuda – Demi Allah – adalah dengan ilmu dan ketakwaan. Jika
keduanya tidak ada padanya, maka tidak ada jati diri padanya.”

Dari nasihat Imam Syafi’i di atas, ketika menghadapi sikap yang kurang
mengenakkan dari guru, kuncinya adalah sabar. Sebagaimana pepatah
Arab mengatakan “ man shabara dhafira ” (barangsiapa bersabar,
beruntunglah dia), ini juga sejalan dengan firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 45: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya keduanya itu sulit untuk dilakukan, kecuali bagi orang-orang
yang khusyu”.

Shalat di sini, maksudnya adalah do’a. Dalam menunjukkan shalat dan
sabar dalam ayat tersebut, digunakan kata ganti tunggal fainnaha bukan
fainnahuma. Ini menunjukkan keharusan menggerakkan shalat dan sabar
dalam satu gerakan kesatuan, tidak memisahkan diantara keduanya.

Kemudian, untuk menjadikan ilmu yang kita punya itu bernilai penuh
kemuliaan, maka amalkanlah ilmu itu sehingga bermanfaat bagi orang
lain. Nabi s.a.w pernah bersabda: “ Khairun naas anfa’uhum lin naas .

Sebaik-baik manusia adalah yang memiliki manfaat kepada manusia lain.”
Sehingga dengan ilmu, kita dapat memetik manfaat bagi diri sendiri
maupun orang lain yang ada di sekitar kita, sebagaimana pepatah Arab
mengatakan bahwa “al-‘ilmu bilaa ‘amalin kas syajari bilaa tsamarin”,
artinya adalah: ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon yang tidak
berbuah.

Selain belajar, bersabar dan berdoa, ada indikator lain yang perlu
diperhatikan dalam menuntut ilmu, yakni ikhlas. Sebagaimana Imam
Ghazali dalam Ihya Ulumuddin-nya pernah berkata: “Manusia pada
hakikatnya mati, kecuali orang yang alim. Orang yang alim walaupun hidup
pada hakikatnya tidur, kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Orang
yang mengamalkan ilmunya banyak yang tertipu, kecuali orang yang
ikhlas”.

Tepat apa yang dikatakan oleh Imam Ghazali, ikhlas adalah kunci utama
dalam menuntut ilmu dan menjadi tolak ukur seberapa tinggi kemuliaan
ilmu yang dimiliki oleh seseorang. Tanpa ikhlas, upaya belajar, bersabar,
dan berdoa yang telah dilakukan tidak akan ada artinya. Ikhlas juga
merupakan sebab kemuliaan ilmu yang dimiliki manusia di mata Allah.

Wallahu a’lam bis shawab.

Ketegasan Abu Bakar Soal Zakat

Posted: 11/08/2013 in HIKMAH

Sewaktu Sahabat Abu Bakar menjadi khalifah menggantikan Rasulullah
SAW, maka ia adalah seorang yang sangat tegas dalam menarik zakat
kepada para saudagar dan orang-orang kaya yang telah memiliki banyak
kelebihan harta.

Khalifah Abu bakar tercatat senantiasa bertindak tegas kepada siapa pun
yang membangkang membayar zakat. Pada zaman itu, negara bertindak
sebagai satu-satunya pihak yang berhak mendistribusikan dana zakat yang
diperoleh dari para penyetor zakat. Pada waktu itu belum tersedia jasa
swasta untuk menyalurkan zakat. Karenanya, jika tidak dibagikan sendiri
secara langsung kepada orang-orang yang berhak, tentu negara lah yang
akan mengambil alih pengelolaannya.

Sahabat Abu Bakar RA selalu bertintak sesuai prosedur yang telah
disepakati oleh nagara, pertama-tama dikirimkanlah surat kepada setiap
gubernur yang membawahi daerah-daerah kekuasaan Islam untuk
menyiapkan perangkat-perangkat penarik zakat. Mulai dari personil,
perlengkapan hingga patung hukum yang dapat membantu pelaksanaan
penarikan zakat tersebut.

Dalam surat-suratnya tersebut, Abu Bakar menyatakan bahwa zakat
adalah ibadah wajib (fardhu) yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW
kepada kaum muslimin yang telah memenuhi kualifikasi.

Termasuk surat-surat Abu Bakar selalu menyebut bahwa zakat harus
diberikan menurut kadar kebutuhan seseorang. Abu Bakar melarang keras
untuk memberikan zakat melebihi ketentuan semestinya. Ia melarang
setiap amil zakat untuk memberikan jatah zakat diluar ketentuan,
meskipun mereka memintta lebih. (HR. Ahmad, Nasa’i, Abu Daud, Al-
Bukhari dan ad-Daraquthni)

Ketika sepeningal Rasulullah ternyata orang-orang Arab, kembali menolak
membayar zakat, maka Abu Bakar segera berunding dengan sahabat Umar
RA. Tentang tindakan apa yang harus mereka ambil terhadap para
pembangkang tersebut. Apakah mereka dapat diperangi karena menolak
membayar zakat?

Karena dimintai pendapat oleh Khalifah, maka Umar pun angkat bicara,
“Demi Allah, tiada lain yang aku lihat selain Allah telah melapangkan dada
Abu Bakar untuk memerangi mereka, maka aku pun tahu bahwa Abu Bakar
berada pada posisi yang benar.” (HR. Abu Daud, shahih)

Di tengah rasa bahagia menyambut hari raya Idul Fitri, lihat betapa pasar,
swalayan, supermarket dan mal-mal menjadi lebih menarik untuk
dikunjungi ketimbang tempat-tempat peribadatan. Bahkan tampaknya,
pusat-pusat perbelanjaan ini telah menjadi tempat ibadah itu sendiri
Belanja besar-besaran seakan merupakan ekspresi keberagamaan mereka,
dalam menyambut datangnya hari kemenangan.

Tidak! Menyambut Idul Fitri bukan dengan cara menghambur-hamburkan
harta.

Kita mengenal istilah konsumerisme, yakni sebuah ajaran yang
mengarahkan kita menjadi objek bahkan korban dari berbagai inovasi
produk-produk baru yang diciptakan oleh para pemodal dan pedagang;
menjadikan kita merasa membutuhkan sesuatu yang sesungguhnya tidak
kita butuhkan. Singkatnya konsumerisme mengarahkan kita untuk
mengkonsumsi sesuatu secara tidak wajar, entah itu barang-barang fisik
ataupun berupa gaya hidup ( live style ).

Konsumerisme tidak terlepas dari banyaknya model satu produk yang
diciptakan, ditambah banyaknya fasilitas penunjangnya. Juga tidak lepas
dari peran media informasi yang kemudian berubah bentuk menjadi media
iklan. Melalui media iklan, kehausan manusia akan informasi telah
mengantarkan kita pada bentuk kecanduan sesuatu di luar batas
kebutuhan kita.

Tak peduli sekalipun penghasilan dan anggaran keuangan keluarga tak
mencukupi, yang penting bisa memborong hal-hal yang diinginkan
merupakan kepuasan. Ditambah decak kagum dan sorot mata
kecemburuan yang dikombinasi dengan komentar ”wah” dari para tetangga
mampu membawa kita ke alam konsumerisme ini.
.
Konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru. Sebab pada dasarnya ajaran
yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar
kuat di dalam kemanusiaan kita ( our humanity ). Hal ini bisa kita lihat dari
ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman
modern ini.

Tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas
( never-ending-discontentment ) dengan hal-hal yang telah mereka miliki,
ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi
untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat
pola hidup konsumerisme semakin subur dan berkembang amat cepat
saja.

Pola hidup konsumerisme ini tak ubahnya virus yang yang mampu
menular dengan amat halus dari satu individu ke individu lainnya. Apalagi
bila budaya gengsi, pamor dan status sosial-keningratan masih saja
dijadikan patokan untuk menilai kemanusiaan seseorang.

Konsumerisme ini telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan
manusia di jaman ini. Sayangnya perubahan yang terjadi ini, lebih
menjurus pada hal-hal yang bersifat negatif dan menyengsarakan hidup
manusia itu sendiri.

Nah, orang-orang yang beragama yang sudah terkena virus konsumerisme
itu sering membuat-buat semacam alasan untuk memenuhi kebutuhan
konsumerisnya. Dia beralasan mengkunsumsi ini dan itu dengan alasan
untuk menjalankan perintah agama: agar lebih mudah menjalankan
pengabdian kepada Allah SWT, tapi ternyata tidak. Alasan keagamaan
hanya menjadi tameng.

Budaya konsumtif yang sementara ini menjadi penyakit yang sangat akut
di negeri ini adalah sebab warganya terutama umat islamnya tidak
menjalankan ajaran agama secara benar. Warga yang taat beragama
seharusnya tidak akan dikejar-kejar oleh gemerlap produk-produk baru,
terutama yang bermerek dari negeri sebrang.

Lebih luas lagi, masyarakat dan bangsa Indonesia masih terlalu
bergantung kepada bangsa lain. Bangsa Indonesia kurang rela menerima
apa adanya dan mendayagunakan anugerah yang telah diterima. Ini
berbahaya. Apalagi jika ketergantungan itu justru terkait dengan produk-
produk konsumsi yang sesungguhnya remeh dan tidak penting.

Ada baiknya kita mengulang kembali pelajaran tentang qona’ah , menerima
apa adanya, menikmati harta dunia secukupnya. Rasulullah SAW
menyatakan, orang yang tidak qona’ah akan mencari gunung emas yang
kedua, ketiga dan seterusnya, jika dia telah mendapatkan satu gunung
emas. Maka setidaknya ajaran mengenai qana’ah ini bisa mengerem
prilaku konsumtif kita.

Kita yang bekerja keras sepanjang tahun semestinya bisa memanage harta
benda yang kita cari sepanjang tahun. Hasil keringat kita mestinya bisa
ditasharufkan untuk sesuatu yang lebih berguna untuk diri kita, keluarga
kita dan masyarakat sekitar kita. Anda yang mudik berlebaran ke kampung
halaman tidak perlu memanjakan keluarga di kampung dengan mengajak
berbelanja habis-habisan berbagai barang konsumsi. Mestinya uang THR
yang kita persiapkan, atau apapun namanya, bisa diberdayakan dalam
bentuk usaha produktif untuk bisa dijalankan oleh keluarga atau
masyarakat kampung kita.