Archive for the ‘HIKMAH’ Category

Dalam sebuah halaqoh, terjadilah diskusi antara guru dan para muridnya
mengenai kemuliaan ilmu. Salah seorang murid mengajukan pertanyaan
kepada sang guru, “Wahai guru, berikanlah alasan kenapa ilmu bisa
memuliakan seseorang yang memilikinya?”

Sang guru tersenyum lirih seraya menjawab, “Dari dirimu sendiri, engkau
bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu dan membuktikan bahwa
ilmu dapat memuliakan pemiliknya. Pada hakikatnya, engkau akan senang
ketika ada seseorang yang memujimu karena keluasan ilmu yang engkau
miliki. Demikian sebaliknya, engkau akan sedih dan marah ketika ada
seseorang mencela keterbatasan ilmu yang ada dalam dirimu”.

Mendengar jawaban sang guru, murid itu akhirnya dapat memahami
bahwa ilmu dapat mengangkat derajat seseorang. Artinya, orang yang
berilmu lebih tinggi derajatnya beberapa tingkat daripada orang yang tidak
berilmu.

Perlu diketahui bahwa tokoh sang guru dalam penggalan cerita di atas
adalah Imam Syafi’i, seorang ulama kenamaan yang benar-benar alim dan
mafhum mengenai substansi ilmu. Tentunya ini bukan hal yang
mengherankan karena jika kita telusuri sejarah hidupnya, maka kita akan
tahu bahwa beliau ini adalah seorang manusia yang menjalankan “ thalabul
‘ilmi minal mahdi ilal lahdi ” (menuntut ilmu dari buaian hingga liang
lahat).

Sehingga, dari beliau kita dapat menelusuri tentang sebab kemuliaan ilmu.
Dalam kitab Diwan Imam Syafi’i, beliau pernah berkata:
“Belajarlah! Karena tak seorang pun yang terlahir sebagai ilmuwan.
Seorang yang berilmu, tak sama dengan orang yang bodoh. Pembesar
suatu kaum jika bodoh, akan menjadi kecil saat pembesar berkumpul.
Orang kecil jika pandai, akan tampak besar saat berada dalam
perkumpulan.”

Sungguh dalam nasihat di atas yang telah dikemukakan oleh Imam Syafi’i,
menggambarkan bahwa kemuliaan ilmu tidak serta merta diraih secara
mudah dan singkat. Tapi, perlu adanya usaha dari sang pendamba ilmu
itu. Usaha yang dimaksud adalah belajar dengan giat dan tekun. Sejalan
dengan sabda Nabi: Uthlubul ‘ilma walau bis shin (tuntutlah ilmu sampai
ke negeri China).

Pada masa itu, China dianggap sebagai negeri yang paling jauh, sehingga
pesan yang dapat kita serap dari hadits Nabi di atas adalah “belajarlah
setinggi-tingginya, jangan kamu jadikan jarak suatu negeri dan negeri lain
yang berjauhan sebagai alasan yang membuatmu menyerah dalam
menuntut ilmu”.

Terkadang dalam upaya mencari ilmu, ditemukan kesulitan, rintangan,
serta “kegalauan” yang mengiringi para penuntut ilmu. Jika dikaitkan
dengan penyakit “galau” yang melanda anak muda jaman sekarang,
kegalauan yang sering dialami para pemuda di bangku sekolah adalah
menerima sikap yang tidak mengenakkan dari guru.

Mungkin, bagi mereka guru terlalu keras dalam mengajar, otoriter, tidak
demokratis, seenak’e dhewe, pilih kasih, dan lain sebagainya. Tapi,
janganlah semua itu dijadikan sebagai penghambat. Sebaliknya, jadikanlah
semua itu sebagai motivasi. Imam Syafi’i dalam kitab Diwannya berkata:
“Bersabarlah atas pahitnya sikap kurang mengenakkan dari guru, Karena
sesungguhnya endapan ilmu adalah dengan menyertainya. Barangsiapa
yang belum merasakan pahitnya belajar meski sesaat, Maka akan
menahan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya. Barangsiapa yang tidak
belajar di waktu mudanya, bertakbirlah 4 kali atas kematiannya. Eksistensi
seorang pemuda – Demi Allah – adalah dengan ilmu dan ketakwaan. Jika
keduanya tidak ada padanya, maka tidak ada jati diri padanya.”

Dari nasihat Imam Syafi’i di atas, ketika menghadapi sikap yang kurang
mengenakkan dari guru, kuncinya adalah sabar. Sebagaimana pepatah
Arab mengatakan “ man shabara dhafira ” (barangsiapa bersabar,
beruntunglah dia), ini juga sejalan dengan firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 45: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya keduanya itu sulit untuk dilakukan, kecuali bagi orang-orang
yang khusyu”.

Shalat di sini, maksudnya adalah do’a. Dalam menunjukkan shalat dan
sabar dalam ayat tersebut, digunakan kata ganti tunggal fainnaha bukan
fainnahuma. Ini menunjukkan keharusan menggerakkan shalat dan sabar
dalam satu gerakan kesatuan, tidak memisahkan diantara keduanya.

Kemudian, untuk menjadikan ilmu yang kita punya itu bernilai penuh
kemuliaan, maka amalkanlah ilmu itu sehingga bermanfaat bagi orang
lain. Nabi s.a.w pernah bersabda: “ Khairun naas anfa’uhum lin naas .

Sebaik-baik manusia adalah yang memiliki manfaat kepada manusia lain.”
Sehingga dengan ilmu, kita dapat memetik manfaat bagi diri sendiri
maupun orang lain yang ada di sekitar kita, sebagaimana pepatah Arab
mengatakan bahwa “al-‘ilmu bilaa ‘amalin kas syajari bilaa tsamarin”,
artinya adalah: ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon yang tidak
berbuah.

Selain belajar, bersabar dan berdoa, ada indikator lain yang perlu
diperhatikan dalam menuntut ilmu, yakni ikhlas. Sebagaimana Imam
Ghazali dalam Ihya Ulumuddin-nya pernah berkata: “Manusia pada
hakikatnya mati, kecuali orang yang alim. Orang yang alim walaupun hidup
pada hakikatnya tidur, kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Orang
yang mengamalkan ilmunya banyak yang tertipu, kecuali orang yang
ikhlas”.

Tepat apa yang dikatakan oleh Imam Ghazali, ikhlas adalah kunci utama
dalam menuntut ilmu dan menjadi tolak ukur seberapa tinggi kemuliaan
ilmu yang dimiliki oleh seseorang. Tanpa ikhlas, upaya belajar, bersabar,
dan berdoa yang telah dilakukan tidak akan ada artinya. Ikhlas juga
merupakan sebab kemuliaan ilmu yang dimiliki manusia di mata Allah.

Wallahu a’lam bis shawab.

Ketegasan Abu Bakar Soal Zakat

Posted: 11/08/2013 in HIKMAH

Sewaktu Sahabat Abu Bakar menjadi khalifah menggantikan Rasulullah
SAW, maka ia adalah seorang yang sangat tegas dalam menarik zakat
kepada para saudagar dan orang-orang kaya yang telah memiliki banyak
kelebihan harta.

Khalifah Abu bakar tercatat senantiasa bertindak tegas kepada siapa pun
yang membangkang membayar zakat. Pada zaman itu, negara bertindak
sebagai satu-satunya pihak yang berhak mendistribusikan dana zakat yang
diperoleh dari para penyetor zakat. Pada waktu itu belum tersedia jasa
swasta untuk menyalurkan zakat. Karenanya, jika tidak dibagikan sendiri
secara langsung kepada orang-orang yang berhak, tentu negara lah yang
akan mengambil alih pengelolaannya.

Sahabat Abu Bakar RA selalu bertintak sesuai prosedur yang telah
disepakati oleh nagara, pertama-tama dikirimkanlah surat kepada setiap
gubernur yang membawahi daerah-daerah kekuasaan Islam untuk
menyiapkan perangkat-perangkat penarik zakat. Mulai dari personil,
perlengkapan hingga patung hukum yang dapat membantu pelaksanaan
penarikan zakat tersebut.

Dalam surat-suratnya tersebut, Abu Bakar menyatakan bahwa zakat
adalah ibadah wajib (fardhu) yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW
kepada kaum muslimin yang telah memenuhi kualifikasi.

Termasuk surat-surat Abu Bakar selalu menyebut bahwa zakat harus
diberikan menurut kadar kebutuhan seseorang. Abu Bakar melarang keras
untuk memberikan zakat melebihi ketentuan semestinya. Ia melarang
setiap amil zakat untuk memberikan jatah zakat diluar ketentuan,
meskipun mereka memintta lebih. (HR. Ahmad, Nasa’i, Abu Daud, Al-
Bukhari dan ad-Daraquthni)

Ketika sepeningal Rasulullah ternyata orang-orang Arab, kembali menolak
membayar zakat, maka Abu Bakar segera berunding dengan sahabat Umar
RA. Tentang tindakan apa yang harus mereka ambil terhadap para
pembangkang tersebut. Apakah mereka dapat diperangi karena menolak
membayar zakat?

Karena dimintai pendapat oleh Khalifah, maka Umar pun angkat bicara,
“Demi Allah, tiada lain yang aku lihat selain Allah telah melapangkan dada
Abu Bakar untuk memerangi mereka, maka aku pun tahu bahwa Abu Bakar
berada pada posisi yang benar.” (HR. Abu Daud, shahih)

Alkisah, suatu hari Sayyidina Umar bin Khattab berkeliling meninjau
wilayah perkampungannya. Di tengah perjalanan, Umar melihat seorang
budak kecil yang sedang menggembala puluhan kambing.

Dalam benaknya, Umar ingin menguji kepintaran budak kecil si
penggembala kambing tersebut. Umar lalu mendekati budak itu dan
mengutarakan niatnya untuk membeli sebuah kambing yang digembala si
bocah.

“Nak, kambingmu saya beli satu boleh?” tanya Umar mengawali
perbincangannya.

“Saya ini budak, saya tidak memiliki kewenangan untuk menjual kambing
ini. Semua kambing milik majikan saya tuan,”jawab si penggembala
dengan kejujurannya.

“Meski milik majikanmu, kalau saya beli satu nanti kamu laporan kepada
majikan bahwa kambing yang kamu gembala dimakan macan satu ekor,”
timpal Umar menguji dengan pura-pura mengajari sikap berbohong.

Dalam pikiran umar, si budak ini pasti akan melepaskan satu ekor untuk
dijual kepadanya. Namun tak diduga si Budak kecil ini memberikan
jawaban lain.

“Saya tidak mau melakukan itu tuan, karena semuanya nanti bisa
kelihatan. Meski juragan (pemilikkambing) tidak tahu tetapi Allah akan
mengerti dan mengetahui yang saya lakukan,” jawab si budak tegas.

Mendengar jawaban itu, Sayyidina Umar seketika menangis seraya
menepuk-nepuk bangga di pundak punggung si budak. Dari peristiwa ini,
Sayyidina Umar mendapat ilmu dari bocah penggembala.

Hikmah kisah ini adalah bahwa Allah itu Maha Tahu. Jadi manusia
berbuat apapun meskipun tidak diketahui siapapun namun Allah tetap akan
mengerti. Maka berbuatlah yang baik-baik supaya dicatat dan mendapat
balasan kebaikan dari Allah di hari akhir kelak.

“Thalabul ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin”.

“Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi”.

Dua hadis ini rasanya tidak asing lagi di telinga orang pesantren sebagai penuntut ilmu (thalibul ‘ilmi). Sejak madrasah ibtidaiyah (MI) dulu ustadz/ustadzah sudah mengenalkan dua hadits tersebut. Kalau masa sekarang (mungkin) sejak masa taman kanak-kanak (TK) sudah dikenalkan.

Namun, bagaimana cara kita untuk bisa mencapai derajat yang tinggi dalam mencari ilmu? Dalam hal ini, Ibnu Malik Al-Andalusi dalam kitab Alfiyah-nya mesdiskripsikan cara itu. Ada lima syarat yang bisa mengantarkan seseorang (thalibul ‘ilmi) pada derajat yang tinggi. Lima point tersebut yang nantinya akan membedakan antara thalibul ‘ilmi yang taat dan tidak. Hal itu beliau torehkan dalam bait syair Alfiyah-nya yang berbunyi:

“Bil jarri wat tanwini wan nida wa al # wa musnadin lil ismi tamyizun hashal”

Artinya, seorang thalibul ‘ilmi harus mempunyai dan bersifat, pertama, jar. Dalam artian tunduk dan tawadduk terhadap semua perintah (baik dari Allah SWT maupun pemerintah). Sesuai dengan apa yang difirmankan Allah swt. yang berbunyi, “athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum”.

Kedua, tanwin. Artinya kemampuan (baca: niat) yang tinggi mencari ridha Allah SWT. Dengan adanya kemauan yang tinggi seorang thalibul ‘ilmi akan mencapai apa yang ia inginkan. Sesuai dengan apa yang di sabdakan nabi Muhammad saw. yang datangnya dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh, Umar bin Khattab r.a. bahwa nabi Muhammad saw. pernah bersabda yang bunyinya, “innamal a’malu binniyati, wa innama likullimriin ma nawa… (al-Hadits)”.

Ketiga, nida’. Artinya dzikir. Setelah adanya niat yang baik untuk mencapai tempat yang layak di sisi Allah swt., seorang thalibul ‘ilmi diharapkan berdzikir mengingat-Nya. Dengan ini, niat awal tidak akan menjadi ‘ashi (bis safar/fis safar).

Keempat, al, yang berarti berfikir. Karena berfikir manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi dari makhluk Allah lainnya. Maka dari itu, setidaknya seseorang yang ingin menggapai sesuatu seyogyanya menggunakan akal pikirannya sebaik mungkin, dengan tidak menggunakannya pada jalan yang salah, tidak berpikiran licik. Tidak seperti apa yang jamak dilakukan para aktivis yang kadang menggunakan akal pikirannya untuk mengkorup uang bawahannya, instansi, dan sejenisnya.

Kelima, musnad ilaih. Beramal nyata (ikhlas). Cara yang kelima ini merupakan puncak dari semuanya. Dengan ikhlas semuanya akan gampang. Sekedar gambaran, dalam film “Kiamat Sudah Dekat”, dengan ikhlas Fandi (Andre) bisa mendapatkan Sarah (Zazkia Adya Mecca) dari Pak Haji (Deddy Mizwar), ayah Sarah.

Sejatinya lima konsep di atas tidak hanya untuk thalibul ‘ilmi semata, akan tetapi lima konsep tersebut juga untuk merka yang ingin menjadi lebih baik dan lebih maju, termasuk para pemimpin kita yang berada dalam angka krisis.

Suatu ketika, Urwah bin az-Zubair, salah seorang sahabat Nabi, bercerita kepada Az-Zuhri tentang kejadian yang ia saksikan sewaktu Nabi hidup. Ketika itu, katanya, Urwah melihat ada seorang wanita bernama Fatimah al-Makhzumiyyah, putri ketua suku Al-Makhzumi, pada hari Fathu Mekah yang kedapatan mencuri.

Maka, kaumnya meminta kepada Usamah bin Zaid yang terkenal dekat dengan Nabi, karena ayahnya, Zaid bin Haritsah, adalah anak angkat Nabi. Mereka menemui Usamah dan memintanya agar menolong putri kepala suku itu sehingga nantinya tidak akan dihukum oleh Nabi.

Maka, datanglah Usamah menemui Nabi dengan menceritakan maksud dan tujuan kedatangannya. Mendengar perkataan Usamah, berubahlah roman muka Nabi. Beliau berkata, ”Apakah engkau akan mempersoalkan ketentuan hukum yang sudah ditetapkan oleh Allah?” Usamah kemudian berkata, ”Maafkan aku ya Rasul Allah.”

Menjelang sore hari, Rasulullah SAW berdiri di depan para sahabatnya sambil berkhutbah dengan terlebih dahulu memuji Allah karena Dialah pemilik segala pujian: ”Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian semua adalah disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri. Ketika salah seorang yang dianggap memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi mencuri, mereka melewatkannya atau tidak menghukumnya.

Namun, ketika ada seorang yang dianggap rendah, lemah dari segi materi, ataupun orang miskin yang tidak memiliki apa-apa, dan orang-orang biasa, mereka menghukumnya. Ketahuilah, demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR Bukhari, No. 4.304).

Setelah itu, Nabi menyuruh untuk memotong tangan Fatimah al-Makhzumiyyah tersebut. Dan setelah pelaksanaan hukuman itu selesai, Nabi menyatakan bahwa tobatnya telah diterima oleh Allah. Dan, perempuan itu menjalani hidupnya secara normal, menikah, dan bekerja seperti biasa. Hingga suatu ketika ia datang kepada Aisyah untuk mengajukan suatu kebutuhan pada Nabi dan beliau menerimanya.

Sungguh pun keadilan itu sangatlah penting untuk ditegakkan dengan seadil-adilnya sebab itu sangat dirindukan oleh kebanyakan masyarakat lemah yang tengah tergadaikan ketentramannya di dalam negri yang kaya polisi dan penegak hukum ini.

Nabi ingin mengajarkan kepada umat manusia untuk tidak membeda-bedakan satu orang dengan yang lainnya dalam hukum. Semua orang sama, tidak ada yang kebal hukum. Karena, pembedaan dalam hukum merupakan sumber kehancuran umat-umat sebelum kita. Krisis ekonomi berkepanjangan, bangsa yang selalu dirundung persoalan, gejolak sosial yang hebat, merupakan imbas dari adanya hukum yang tidak adil.

Hukum adalah hukum, ia harus mengenai siapa pun yang terkait dengannya. Ini yang diharapkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan tujuan mencapai keadilan yang hakiki.