Archive for the ‘TAUSHIYAH’ Category

Di tengah rasa bahagia menyambut hari raya Idul Fitri, lihat betapa pasar,
swalayan, supermarket dan mal-mal menjadi lebih menarik untuk
dikunjungi ketimbang tempat-tempat peribadatan. Bahkan tampaknya,
pusat-pusat perbelanjaan ini telah menjadi tempat ibadah itu sendiri
Belanja besar-besaran seakan merupakan ekspresi keberagamaan mereka,
dalam menyambut datangnya hari kemenangan.

Tidak! Menyambut Idul Fitri bukan dengan cara menghambur-hamburkan
harta.

Kita mengenal istilah konsumerisme, yakni sebuah ajaran yang
mengarahkan kita menjadi objek bahkan korban dari berbagai inovasi
produk-produk baru yang diciptakan oleh para pemodal dan pedagang;
menjadikan kita merasa membutuhkan sesuatu yang sesungguhnya tidak
kita butuhkan. Singkatnya konsumerisme mengarahkan kita untuk
mengkonsumsi sesuatu secara tidak wajar, entah itu barang-barang fisik
ataupun berupa gaya hidup ( live style ).

Konsumerisme tidak terlepas dari banyaknya model satu produk yang
diciptakan, ditambah banyaknya fasilitas penunjangnya. Juga tidak lepas
dari peran media informasi yang kemudian berubah bentuk menjadi media
iklan. Melalui media iklan, kehausan manusia akan informasi telah
mengantarkan kita pada bentuk kecanduan sesuatu di luar batas
kebutuhan kita.

Tak peduli sekalipun penghasilan dan anggaran keuangan keluarga tak
mencukupi, yang penting bisa memborong hal-hal yang diinginkan
merupakan kepuasan. Ditambah decak kagum dan sorot mata
kecemburuan yang dikombinasi dengan komentar ”wah” dari para tetangga
mampu membawa kita ke alam konsumerisme ini.
.
Konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru. Sebab pada dasarnya ajaran
yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar
kuat di dalam kemanusiaan kita ( our humanity ). Hal ini bisa kita lihat dari
ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman
modern ini.

Tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas
( never-ending-discontentment ) dengan hal-hal yang telah mereka miliki,
ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi
untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat
pola hidup konsumerisme semakin subur dan berkembang amat cepat
saja.

Pola hidup konsumerisme ini tak ubahnya virus yang yang mampu
menular dengan amat halus dari satu individu ke individu lainnya. Apalagi
bila budaya gengsi, pamor dan status sosial-keningratan masih saja
dijadikan patokan untuk menilai kemanusiaan seseorang.

Konsumerisme ini telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan
manusia di jaman ini. Sayangnya perubahan yang terjadi ini, lebih
menjurus pada hal-hal yang bersifat negatif dan menyengsarakan hidup
manusia itu sendiri.

Nah, orang-orang yang beragama yang sudah terkena virus konsumerisme
itu sering membuat-buat semacam alasan untuk memenuhi kebutuhan
konsumerisnya. Dia beralasan mengkunsumsi ini dan itu dengan alasan
untuk menjalankan perintah agama: agar lebih mudah menjalankan
pengabdian kepada Allah SWT, tapi ternyata tidak. Alasan keagamaan
hanya menjadi tameng.

Budaya konsumtif yang sementara ini menjadi penyakit yang sangat akut
di negeri ini adalah sebab warganya terutama umat islamnya tidak
menjalankan ajaran agama secara benar. Warga yang taat beragama
seharusnya tidak akan dikejar-kejar oleh gemerlap produk-produk baru,
terutama yang bermerek dari negeri sebrang.

Lebih luas lagi, masyarakat dan bangsa Indonesia masih terlalu
bergantung kepada bangsa lain. Bangsa Indonesia kurang rela menerima
apa adanya dan mendayagunakan anugerah yang telah diterima. Ini
berbahaya. Apalagi jika ketergantungan itu justru terkait dengan produk-
produk konsumsi yang sesungguhnya remeh dan tidak penting.

Ada baiknya kita mengulang kembali pelajaran tentang qona’ah , menerima
apa adanya, menikmati harta dunia secukupnya. Rasulullah SAW
menyatakan, orang yang tidak qona’ah akan mencari gunung emas yang
kedua, ketiga dan seterusnya, jika dia telah mendapatkan satu gunung
emas. Maka setidaknya ajaran mengenai qana’ah ini bisa mengerem
prilaku konsumtif kita.

Kita yang bekerja keras sepanjang tahun semestinya bisa memanage harta
benda yang kita cari sepanjang tahun. Hasil keringat kita mestinya bisa
ditasharufkan untuk sesuatu yang lebih berguna untuk diri kita, keluarga
kita dan masyarakat sekitar kita. Anda yang mudik berlebaran ke kampung
halaman tidak perlu memanjakan keluarga di kampung dengan mengajak
berbelanja habis-habisan berbagai barang konsumsi. Mestinya uang THR
yang kita persiapkan, atau apapun namanya, bisa diberdayakan dalam
bentuk usaha produktif untuk bisa dijalankan oleh keluarga atau
masyarakat kampung kita.

Idul Fitri merupakan puncak dari rangkaian ibadah puasa. Ketika hilal
dapat dilihat di penghujung bulan Ramadhan maka di hari itu juga seluruh
umat Islam diharuskan untuk berbuka dan melaksanakan shalat hari raya
sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “La tashumu hatta tarawul hilal wala
tufthiru hatta tarauhu”. Artinya: Janganlah kalian berpuasa kecuali kalian
melihat hilal (bulan) dan janganlah kalian berbuka kecuali melihatnya
( hilal)”.

Demikianlah, sesuai dengan makna harfiyahnya. Idul fitri = hari berbuka,
maka di hari ini kewajiban umat Islam menahan diri dari makan dan
minum secara hawa nafsu sepanjang bulan Ramadhan telah selesai.
Bahkan puasa tepat di hari ini sama sekali tidak diijinkan atas alasan
apapun juga.

Namun apakah perang melawan hawa nafsi telah selesai? Tentu tidak.
Satu bulan puasa hanya merupakan latihan untuk menjadi manusia yang
lebih baik lagi pada bulan-bulan berikutnya.

Akan tetapi dengan selesainya kewajiban puasa, bukan berarti seluruh
umat Islam bisa berpesta pora dan meluapkan segala keinginan yang
sebelumnya sempat tertahan di bulan puasa. Karena jika hal itu terjadi
maka latihan pengendalian diri selama Ramadhan tidak berhasil dengan
baik.

Terlebih lagi jika Idul Fitri dianggap sebagai hari raya kebebasan untuk
makan dan minum dan berpesta pora maka dikhawatirkan kita akan
menjadi terlampau berlebihan sehingga melanggar larangan Allah: Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu di setiap (memasuki) mesjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A’raf 7: 31) .

Dengan kata lain, dalam ayat ini, Allah memperingatkan kita untuk hidup
bersahaja dan jauh dari prilaku konsumtif, baik dalam sandang pangan
maupun papan. Tidak perlu membeli pakaian yang mahal-mahal serta
berpesta pora dalam hal makanan dan minuman.

Dalam konteks Idul Fitri kali ini, sikap berlebih-lebihan dan konsumtif
kiranya tidak seharusnya ditumbuhkembangkan. Karena bagaimanapun
juga, ibadah puasa merupakan ibadah yang ditujukan untuk membersihkan
diri dan mengendalikan keinginan kita menjadi makhluk yang konsumeris.
Sebaliknya, Ibadah puasa menyokong kita untuk merasakan
ketidakberdayaan orang-orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan
makan dan minum mereka sehari-hari.

Oleh sebab itu, tidak selayaknya kita mengenakan pakaian yang sangat
mahal ketika umat Islam yang lain tidak dapat membelinya. Karena hal
tersebut sama saja dengan memperdalam jurang kesenjangan sosial yang
di bulan puasa ingin dikikis dari kehidupan sosial kita.

Yang seharusnya dikembangkan dalam situasi dan kondisi bangsa dan
masyarakat kita yang hidup dalam keprihatinan ini adalah sikap kita untuk
kembali kepada spirit kemanusiaan. Semangat untuk memandang diri kita
sama dengan anggota masyarakat yang lain tanpa membeda-bedakan si
kaya dan si miskin. Lebih jauh, semangat memandang diri kita sebagai
bagian dari kehidupan orang lain dan melihat kehidupan orang lain sebagai
bagian dari kehidupan kita sendiri.

Dengan demikian, maka Idul Fitri tahun ini, dapat mempererat tali
silaturrahim di seluruh lapisan masyarakat, menekan kerakusan terhadap
materi atau pola hidup konsumeristik serta menggantikannya dengan
keinginan untuk saling berbagi serta memperkukuh kembali bangunan
umat Islam sebagai satu bangunan yang utuh. Amin ya Rabbal ‘Alalamin .

Esensi Zakat Mal

Posted: 11/08/2013 in TAUSHIYAH

Ada salah kaprah di antara masyarakat kita bahwa zakat harta benda
(mal) hanya dikeluarkan di bulan Ramadhan saja. Padahal, yang benar,
satu tahun ( haul) yang menjadi “syarat wajib” dikeluarkannya zakat itu
dihitung semenjak kita mulai memiliki harta senilai satu nishab atau
ukuran tertentu sehingga wajib zakat.

Jika yang dimaksud adalah zakat profesi, satu tahun itu dihitung semenjak
kita mulai bekerja dan mendapatkan gaji total tahunan yang mencapai
nishab. Jika terkait dengan zakat hasil bumi, maka persyaratan dimaksud
bukan lagi haul, tapi dikeluarkan pada masa panen. Sebagian ulama
mengaitkan zakat profesi dengan zakat hasil bumi, sehingga mesti
dikeluarkan pada masa panen atau gajian.

Praktik zakat yang hanya dilakukan pada bulan Ramadhan itu mungkin
saja disebabkan karena umat Islam ingin mencari keutamaan yang lebih
besar karena setiap ibadah pahalanya akan dilipatgandakan di bulan
Ramadhan.

Faktor lainnya, mungkin umat Islam tidak membedakan antara zakat fitrah
dengan zakat mal atau zakat harta. Seperti halnya zakat fitrah, sebagian
orang mengira jika zakat mal dikeluarkan setiap Ramadhan, atau
menjelang Idul Fitri. Padahal dijelaskan bahwa zakat fitrah berfungsi
utama untuk membersihkan diri dan wajib dikeluarkan untuk
menyempurnakan ibadah puasa. Sementara zakat mal berfungsi untuk
membersihkan harta dan wajib dikeluarkan pada waktu tertentu, jika sudah
memenuhi syarat wajib dikeluarkan zakatnya, tidak mesti di bulan
Ramadhan.

Perlu dipertimbangkan, jika praktik berzakat yang hanya dilakukan di bulan
Ramadhan, maka akan menyebabkan harta zakat akan menumpuk pada
bulan itu saja. Sementara pada bulan-bulan lainnya harta zakat sama
sekali tidak ada, atau orang enggan mengeluarkan zakatnya. Dengan kata
lain, kepedulian umat Islam yang mampu untuk berzakat hanya ada di satu
bulan saja.

Litat, betapa anak-anak yatim, orang-orang miskin dan janda-janda tua
menjadi sangat istimewa bagi para pezakat ( muzakki ) di bulan Ramadhan.
Setelah Ramadhan usai, aktifitas penyaluran zakatnya pun usai. Dan para
calon penerima zakat ( mustahiq) di lupakan di sebelas bulan yang lain.
Tidak untungnya, praktik ini juga didukung oleh lembaga zakat.

Hal kedua yang penting adalah soal penyaluran zakat. Saat ini masyarakat
lebih senang menyalurkan zakat kepada panitia zakat yang besar dan
berada di pusat kota, atau ibu kota negara dengan alasan lebih praktis,
melalui transfer ke rekening bank atas nama lembaga zakat dimaksud.
Akibatnya zakat kemudian mengumpul di satu tempat saja dan
penyalurannya belum tentu merata.

Perlu juga dipertimbangkan bahwa salah satu esensi penting dari zakat
adalah agar harta tidak berputar-putar di antara orang-orang yang kaya
saja ( dulatan bainal aghniya’ ). Maka faktor yang penting di perhatikan di
sini adalah tempat tinggal muzakki (pemberi zakat).

Sebaiknya zakat ditasharufkan kepada orang-orang yang tinggal di sekitar
muzakki , baik perseorangan atau perusahaan, agar harta tidak dulatan
bainal aghniya’ , dengan kata lain agar tidak terjadi kecemburuan sosial.
Jangan sampai zakat dikeluarkan untuk orang yang berada jauh dari
muzakki .

Saat ini juga banyak fasilitas penerimaan zakat modern, misalnya, dengan
perangkat jaringan selular atau model pembayaran dengan kartu belanja.
Kreativitas para amil zakat saat ini sudah sangat luar biasa. Namun
keabsahan model zakat seperti itu diragukan. Mengapa? Uang zakat telah
dipotong terlebih dahulu untuk membayar jasa penarikan zakat, yang
akibatnya uang zakat akan berkurang sebelum diterima oleh amil atau
panitia zakat.

Hemat kami, mestinya zakat dibayarkan langsung kepada mustahiq
(penerimanya) sembari menjalin keakraban. Mereka yang memberikan
dapat bertatap muka secara langsung dengan mereka yang menerima.

Diharapkan, dari sinilah terjalin rasa persaudaraan (ukhuwwah) antara
pihak penerima dan pemberi. Persaudaraan sejati yang muncul secara
personal dan didasari oleh sebuah kesamaan identitas keislaman dan
keimanan. Singkatnya, orang-orang yang berpunya harus juga mengenal
masyarakat sekitarnya yang kurang mampu, bukan datang dan pergi begitu
saja tanpa bertegur sapa.

Jika tidak disalurkan langsung, lebih baik sakat dititipkan kepada amil
zakat setempat saja. Para amil atau tokoh masyarakat setempat yang
dipercaya biasanya lebih tahu kondisi masyarakat yang lebih memerlukan
bantuan.

Lalu, jika zakat yang terkumpul itu bisa diwujudkan dalam bentuk usaha
produktif dan bisa membantu para mustahiq secara lebih permanen,
kiranya itu lebih baik.

Kalau ada orang Islam membawa sekantong plastik beras ke masjid atau
rumah tetangganya yang kurang beruntung di bulan Ramadhan atau di
malam takbiran, maka kita boleh menduga ia tengah mengantarkan Zakat
Fitrah.

Zakat Fitrah diwajibkan pada tahun kedua hijrah Rasulullah SAW ke kota
Madinah. Ia merupakan sebuah praktik pengeluaran zakat berupa makanan
pokok khas suatu tempat oleh seseorang kepada mereka yang berhak
menerima. Umumnya di Jakarta, 3 ½ liter beras.

Pada dasarnya Zakat Fitrah bertujuan untuk membersihkan diri. Rasulullah
SAW bersabda, “ Zakat Fitrah menyucikan orang berpuasa dari perilaku sia-
sia atau perbuatan tercela.” Sementara hadis lain mengatakan, “ Ibadah di
bulan puasa mengapung di antara langit dan bumi. Ia akan diangkat hanya
karena Zakat Fitrah .”

Dari hadis di atas, Allah melalui zakat Fitrah itu menunda kesucian pribadi
seseorang yang ditempa lapar puasa selama sebulan hanya pada
pengeluaran zakat 3 ½ liter beras. Ibadah puasa sefokus apapun misalnya
rajin tarawih, menjaga hati, membasahi lidah dengan zikir, dinilai belum
sempurna.

Zakat Fitrah yang setiap tahun peristiwanya berlangsung hanya beberapa
menit itu perlu mendapat perhatian khusus. Umat Islam perlu meluangkan
waktu untuk merenungkan ibadah agung yang sejenak itu.

Bagaimana bisa sekantong plastik 3 ½ liter beras menjadi anak kunci
semua bentuk ibadah seseorang?

Kita dapat menemukan sejumlah jawaban. Pertama , pemeluk Islam
semestinya tidak membedakan ibadah yang berkutat pada diri sendiri dan
ibadah yang melibatkan orang di sekitar.

Kedua , terdapat hak orang lain dalam kandungan tubuh seseorang. Ketiga,
pembangunan kesadaran sosial. Keempat, menghadirkan kebahagiaan di
hati mereka yang kurang beruntung. Bahkan kafir zimmi yang kekurangan
pun berhak menerima Zakat Fitrah. Kelima , menggugah keadaran kita
terhadap nasib, masalah, dan dinamika yang dihadapi para petani secara
umum, terutama petani beras.

Sedangkan makanan pokok yang ditunjuk Allah sebagai materi zakat juga
mengandung keistimewaan. Kualitas makanan pokok yang dizakatkan
harus sama dengan kualitas makanan pokok yang dikonsumsinya sehari-
hari. Hikmahnya mendorong keikhlasan dalam berzakat dan mendidik
seseorang untuk menghargai sesamanya sesuai kemampuan.

Lewat 3 ½ liter beras Allah pun mengingatkan kedhaifan dan kefakiran
hamba-Nya. Manusia sehebat apapun, segudang pengalaman, setumpuk
pengetahuan, seabrek-abrek harta, sejumlah pangkat dan jabatan, sederet
gelar baik akademis maupun feodalis, tetap tidak meninggalkan asal,
makhluk lemah.

Wajah mereka pucat, mata layu, tenaga kurang, semangat kendur, gerakan
melambat, pikiran buyar, badan lunglai tanpa makanan pokok.

Perihal Pembayar Zakat Fitrah

Tidak semua orang berkewajiban membayar zakat. Imam Nawawi dalam
Raudlatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyyin menetapkan tiga kriteria
pembayar zakat. Pertama Al-Islam , pemeluk Islam. Kedua Alhurriyyah,
merdeka. Ketiga Alyasar , kelapangan rezeki.

Zakat Fitrah wajib dibayar oleh umat Islam. Itupun bagi muslim yang
mengalami hidup di bulan Ramadhan meskipun hanya di akhir dan awal
bulan Syawwal meskipun hanya sesaat. Orang kafir dan murtad
kekurangan syarat sebagai pembayar zakat.

Kemerdekaan juga menjadi syarat kedua karena pentingnya. Merdeka
orang bukan budak. Ia berkuasa penuh terhadap diri, harta, dan segala
aktivitasnya. Budak tidak berkewajiban berzakat karena menjadi
tanggungan tuannya.

Kelapangan memiliki ketentuan khusus. Seseorang dinilai memiliki
kelapangan rezeki sejauh ia memiliki stok makanan pokok untuk
dikonsumsi anak, istri, orang tua yang menjadi tanggungan nafkahnya di
malam dan di hari Idul Fitri.

Selain fungsional, tiga syarat ini mengandung sejumlah nilai-nilai
pendidikan. Ia dapat merenungkan kembali sejauhmana kualitas
keislamannya, menyegarkan ulang hakikat kemerdekaannya, dan
mengambil semangat untuk lebih giat mencari nafkah makanan pokok.

Secara umum nilai-nilai ibadah individual dalam Islam menemukan
maknanya dalam Zakat Fitrah yang bersifat sosial. Kecuali itu, Zakat
Fitrah merupakan wujud nyata menyatunya nilai-nilai keislaman dalam diri
pembayar zakat. Pembayar zakat Fitrah yang telah melakukan kesalehan
pribadi tidak lagi berjarak dengan kenyataan sosial sebagai ibadah yang
akan menyempurnakan kesalehan pribadinya.

Ia disunahkan untuk segera membayar zakat di waktu yang membentang
dari Magrib awal Syawwal hingga pelaksanaan sembahyang Idul Fitri.
Kesegeraan ini menjadi penting demi kesucian dirinya dan demi
pemenuhan kebutuhan pokok sesamanya.

Sedangkan penerima zakat karena tidak memiliki kelebihan rezeki tidak
perlu berkecil hati. Karena mereka juga tetap mengalami kesucian diri
dengan menerima saluran zakat tersebut.

Menggapai Lailatul Qadar

Posted: 11/08/2013 in TAUSHIYAH

Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa lailatul qadr merupakan suatu malam
pada bulan Ramadhan yang begitu istimewa hingga melebihi perbandingan
1000 bulan (30.000 kali malam biasa). Karenanya, tidak sedikit dari umat
Islam yang mendamba dan memburunya, lebih-lebih di sepuluh hari
terakhir Ramadhan.

Merujuk pada definisi dari lailatul qadr itu sendiri setidaknya ada tiga
pemaknaan dari kata al-qadr yang digunakan para ulama’. Pertama,
penetapan dan pengaturan, sehingga lailatul qadr difahami sebagai malam
penetapan Allah bagi perjalanan hidup seseorang ke depan.

Kedua, kemuliaan. Makna kemuliaan ini karena dalam Al-Qur’an
disebutkan bahwa malam itu diturunkan juga Al-Qur’an. Meminjam
istilahnya Quraish Shihab bahwa lailatul qadr itu mulia karena menjadi titik
tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih (Quraish Shihab, 2013: 489).

Ketiga, sempit. Makna sempit ini merujuk karena pada malam itu bumi
disesaki para malaikat yang diperintah Allah untuk mengatur segala urusan
—termasuk urusan duniawi umat manusia.

Meski para ulama’ berbeda pendapat dari pemaknaan al-qadr itu sendiri,
namun dari tiga pemaknaan tersebut setidaknya bisa disatukan sehingga
kesemuanya menjadi benar, bahwa lailatul qadr adalah malam yang mulia,
yang bila seseorang dapat meraihnya maka masa depannya akan
tertetapkan, di mana masa depannya akan damai dan tenang sesuai
dengan pengaturan para malaikat yang pada malam itu turun memadati
bumi. Hal inilah yang oleh Muhammad Abduh diistilahkan dengan khittah
yang dapat melepaskan umat manusia dari kerusakan dan kehancuran
yang seringkali membelenggu dalam kehidupannya.

Dari pemaknaan ini, maka bisa dipastikan bahwa untuk bisa meraihnya
tidaklah mudah dan tidak cukup dengan hanya tidak tidur semalaman.
Untuk bisa menggapainya dibutuhkan keintiman pribadi antara seorang
muslim dengan Allah, di mana untuk menjalin keintiman tersebut
dibutuhkan kesucian jiwa seseorang. Ibarat air dan minyak, keduanya tidak
akan menyatu dan bertemu di mana pun dan kapan pun. Kebaikan dan
kemuliaan lailatul qadr tidak akan diperoleh kecuali oleh orang-orang
tertentu yang telah menyucikan jiwanya guna menyambut lailatul qadr.

Karena itulah Rasulullah menduga kuat bahwa lailatul qadr akan datang
pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan—meskipun juga besar
kemungkinan ia juga datang sebelum itu, bahkan malam pertama
Ramadhan. Dugaan Rasulullah ini dirasionalisasikan karena pada sepuluh
malam terakhir Ramadhan diharapkan jiwa manusia yang telah berpuasa
selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran
dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir
menemuinya.

Untuk menggapainya, ada ada dua hal yang diajarkan Rasulullah untuk
menjadi bekal agar pada diri manusia tertaman jiwa yang suci dan lailatul
qadr-pun berhasil kita gapai. Pertama, merenung. Dalam artian merenung
untuk kesucian jiwa, baik untuk diri sendiri maupun untuk umum
(masyarakat). Hal ini, dikarenakan jika jiwa seseorang sudah suci, maka
malaikat tidak akan ragu untuk membimbing seseorang tidak hanya
sampai terbitnya fajar pada malam al-qadr saja, tapi sampai akhir
hayatnya nanti.

Dalam sejarah disebutkan bahwa malam al-qadr yang menemui Rasulullah
pertama kali yaitu ketika Rasulullah sedang menyendiri di Gua Hira
merenungi tentang diri dan umatnya. Ketika jiwa Rasulullah telah mencapai
kesuciannya, turunlah malaikat Jibril membawa ajaran dan
membimbingnya sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan
hidupnya dan hidup umat manusia.

Hemat penulis, Gua Hira yang menjadi tempat merenung Rasulullah pada
waktu itu, jika dikontekstualisasikan dengan masa kini, tidak ubahnya
adalah masjid. Hal ini di samping karena masjid merupakan tempat yang
suci, juga karena dari masjid semua kebajikan bermula. Di masjid
seseorang bisa dapat menghindar dari segala urusan dunia yang dapat
menyesakkan jiwa dan pikiran dengan fokus men- charge kejiwaan dan
keimanan seseorang yang seringkali naik-turun.

Kedua, iktikaf. Iktikaf yang berarti berdiam di masjid dengan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah dicontohkan oleh Rasulullah lebih-lebih di
malam sepeluh terakhir bulan Ramadhan, di mana Rasulullah tidak pernah
meninggalkannya. Dalam diam di masjid itu Rasulullah bertadarus,
merenung, dan berdoa.

Merujuk pada penuturan Aisyah, bahwa doa Rasulullah dalam menyambut
lailatul qadr tidak lain adalah doa sapujagat; rabbana atina fiddunya
hasanah, wa fil akhirati hasanah waqina ‘adzabannar (wahai Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dak di akhirat dan
periharalah kami dari siksa neraka).

Terdapat filosofi mendalam dari doa sapujagat ini, di mana jika dimaknai
lebih mendalam lagi, ia tidaklah sekedar permohonan untuk memperoleh
kebajikan di dunia dan akhirat, tapi lebih dari itu doa ini bertujuan untuk
menetapkan langkah ( action ) dalam berupaya meraih kebajikan, dengan
langkah konkrit untuk menjadikan kebajikan dan kebahagian tidak hanya
berdampak di dunia, tapi juga di akhirat kelak.

Jika kita bisa mengimbangi puasa kita dengan dua hal yang diajarkan
Rasulullah di atas, tentunya dengan mudah kita bisa menggapai malam
kemuliaan tersebut dengan penuh kedamaian hidup dan akan tercipta
kesalehan jiwa yang berkelanjutan. Wallahu a’lam bis shawab…