Istighotsah

Posted: 28/08/2013 in UBUDIYAH
Itighotsah” dalam bahasa Arab berarti “meminta pertolongan”. Istilah istighotsah terdapat dalam wiridan para anggota jama’ah thoriqoh (atau biasa dilafadkan dalam bahasa Indonesia menjadi tarekat) yang berbunyi: “Ya Hayyu ya Qoyyum birohmatika astaghits..!” Wahai Dzat Yang Mahahidup dan dan Yang Tidak Butuh Pertolongan, berilah pertolongan kepadaku..! Di negara-negara Arab kalau pun kata istighotsah dipakai sebagai satu peristilahan maka itu berarti doa khusus saja yang ucapkan oleh seorang tokoh.
Di Indonesia istighotsah diartikan sebagai dzikir atau wiridan yang dilakukan secara bersama-sama dan biasanya di tempat-tempat terbuka untuk mendapatkan petunjuk dan pertolongan dari Allah SWT. Sementara doa-doa yang diucapkan pada saat istighotsah adalah doa-doa atau bacaan yang khas diamalkan dalam jama’ah thoriqoh, meski kadang ada beberapa penambahan doa.
Pertama-tama para jama’ah istighotsah membaca surat pertama dalam Al-Qur’an yakni Al-Fatihah sebagai pembuka segala kegiatan yang baik. Selanjutnya jama’ah membaca doa-doa berikut:
1. Istighfar (astagfirullahal adzim) meminta ampun kepada Allah
2. Hauqolah (la haula wala quwwata illa billahil aliyyil adzim) meminta kekuatan kepada Allah
3. Sholawat atau doa untuk Nabi Muhammad SAW dan keluarganya
4. Lafadz tahlil panjang yang berbunyi “La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin” sebagai pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa hamba yang sedang berdoa telah melakukan perbuatan dzolim.
5. Memuji asma Allah dengan lafadz “Ya Allah ya Qodim, ya Sami’u ya Basyir, ya Mubdi’u ya Kholiq, ya Hafidz ya Nasir ya Wakilu ya Allah, ya Lathif
6. Kemudian bacaan istighotsah “Ya Hayyu ya Qoyyum birohmatika astaghits

Jumlah bacaan bisa bermacam-macam antara 1, 3, 7, 33, 100, atau 1000 tergantung sang pemimpin jama’ah istigotsah. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca surat Yasin dan dilanjutkan dengan tahlil untuk mendoakan para orang tua, guru, sesepuh, anak, dan saudara yang telah menghadap Sang Kholiq.
Jauh-jauh hari, jama’ah thoriqoh mengamalkan doa-doa tersebut pada waktu-waktu tertentu di ruangan tertutup seperti masjid, langgar dan musholla dengan penuh kekhusu’an dan dipimpin oleh guru tarekat (mursyid).
Pada akir tahun 1990-an para kiai Nahdlatul Ulama berinisiatif mengajak umat Islam dan bangsa Indonesia untuk berdoa, meminta pertolongan kepada Allah, secara bersama-sama di tempat terbuka. Saat itu Indonesia diperkirakan kiai telah dan akan memasuki bencana besar, maka berbagai elemen bangsa harus berdoa bersama-sama untuk keselamatan bangsa Indonesia.
Persis tanggal 25 Desember 1997 doa bersama untuk pertama kalinya dilaksanakan secara terbuka di lapangan bola Tambak Sari, Surabaya, dipimpin oleh Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur waktu itu KH Hasyim Muzadi. Ternyata Istighotsah tersebut bisa terlaksana dengun khusu dan syahdu, sehingga bisa membawa ketenangan jiwa. Yang kedua dilaksanakan lapangan Kodam Surabaya yang dihadiri tidak hanya di kalanagan NU tetapi juga kalangan pejabat.
Istighosah kemudian sering dilakukan terutama menjelang dan selama masa krisis 1997-1998. Istighotsah yang paling besar dilakukan di Lapangan Parkir Timur senayan Jakarta oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tidak hanya dihadiri oleh para kiai NU, tokoh umat Islam, tetapi juga para pimpinan partai, pejabat tinggi negara serta para petinggi Militer termasuk Panglima Angkatan Bersenjata. Waktu itu, istighostah selain sebagai doa bersama juga merupakan penegasan komitmen kebangsaan yang dilakukan oleh seluruh elemen bangsa Indonesia saat Indonensia terjadi krisis politik, ekonomi besar dan menghadapi bahaya disintegrasi bangsa.
Istighatsah kini menjadi istilah umum untuk dzikir yang dihadiri oleh banyak orang dan dilakukan di tempat-tempat umum. Istighotsah juga diisi dengan ceramah agama (mau’idzatul hasanah) kemudian ditutup dengan pembacaan doa pamungkas yang dipimpin oleh para ulama secara bergantian.

Puasa Tasu’a dan ‘Asyura

Posted: 28/08/2013 in UBUDIYAH
Tasu’a berasal dari bahasa arab tis’a artinya sembilan, sementara ‘asyura berasal dari ‘asyara artinya sepuluh. Puasa Tasu’a dan ‘Asyura dikerjakan pada tanggal 9 dan 10 Muharram pada Kalender Hijriyah. Hukum puasa ini adalah sunnah; dianjurkan untuk dikerjakan namun tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya.

Rasulullah SAW berdabda: “Puasa itu bisa menghapuskan dosa-dosa kecil pada tahun kemarin.” –(HR Muslim)
Puasa ‘Asyura sudah dilakukan oleh masyarakat Quraisy Makkah pada masa jahiliyyah. Rasulullah SAW juga melakukannya ketika masih berada di Makkah maupun seteleh berada di Madinah.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah sempat diprotes oleh umat Islam di Madinah: “Ya Rasulallah, hari itu (’Asyura )diagungkan oleh Yahudi.” Maksudnya, kenapa umat Islam mengerjakan seseatu persis seperti yang dilakukan oleh umat Yahudi? Beliau lalu bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”  Setelah itu, tidak hanya disunnahkan puasa pada tanggal 10 tapi juga tanggal 9 Muharram. Sayang, sebelum datang tahun berikutnya Rasulullah telah wafat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 dimaksudkan agar tidak persis seperti yang dilakukan oleh umat pada masa Nabi sebelumya, yakni Yahudi dan Nashrani. (Fathul Bari 4: 245)
Soal kemiripan dengan puasa umat yahudi ini diriwayatkan bahwa ketika tiba di Madinah, Rasulullah melihat orang-orang Yahudi di sana juga berpuasa pada hari ‘Asyura. Beliau bertanya: “Puasa apa ini?” Mereka menjawab: “Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur.” Maka beliau bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (HR Bukhari)
Jauh-jauh hari setelah Rasul wafat, hari ‘Asyura’ dijadikan oleh kelompok Syi’ah, yakni kelompok yang sangat mengagungkan Sayyidina Ali dan keluarganya, sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Kebetulan Sayyidina Hussein terbunuh pada hari itu juga di Padang Karbala.
Pada setiap hari ‘Asyura, kelompok Syiah memperingati kematian Husen dengan cara berkumpul, menangis, meratapinya secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi dan belati, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya.
Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi’ah di atas, orang kelompok umat Islam yang lain menjadikan hari Asyura’ sebagai hari raya, pesta dan serba ria. Dua budaya yang sangat kontras ini terutama berlangsung pada jaman dinasti Buwaihi (321H-447 H.). Pada masa itu terkenal adanya pertentangan antara Sunni dan Syi’ah dengan tajamnya.

Karena itu, sedianya, hari ‘Asyura diisi dengan ibadah puasa saja sebagaimana telah dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tentang keutamaan puasa ‘Asyura Ibnu Abbas menyatakan: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa pada suatu hari karena ingin mengejar keutamaannya selain hari ini (‘Asyura) dan tidak pada suatu bulan selain bulan ini (maksudnya: bulan Ramadhan).” (HR. Al-Bukhari.)
* Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menganjurkan pada hari Tasu’a dan ‘Asura ini umat Islam di Indonesia juga memperbanyak istigfar (atau membaca astaghfirullahal adzim) meminta ampun kepada Allah dan membaca hauqolah (la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil adzim) sebagai bentuk pengakuan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah. Semoga Allah SAW menurunkan rahmat-Nya dan menghilangkan segala bencana.

Puasa Tarwiyah dan Arafah

Posted: 27/08/2013 in UBUDIYAH
PUASA ARAFAH adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 Dzulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa-puasa lainnya.
Keutamaan puasa Arafah ini seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Rahimahullah. Rasulullah SAW bersabda:

صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية

Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim)
Sementara puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan hadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla’ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء

Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)
Puasa Arafah dan tarwiyah sangat dianjurkan untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jemaah haji sedang menjalankan ibadah di tanah suci.
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR Bukhari Muslim).

Mengamalkan Ajaran Thariqah

Posted: 27/08/2013 in UBUDIYAH
THORIQOH atau tarekat berarti “jalan”. Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan (thariqoh) terdekat kepada Allah yang paling mudah bagi hamba-hambanya dan yang paling utama bagi Allah!” Rasulullah SAW bersabda: “Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi masih terdapat orang yang mengucapkan lafadz “Allah”.” (dalam kitab Al-Ma’arif Al-Muhammadiyah).
Para ulama menjelaskan arti kata thariqah dalam kalimat aktif, yakni melaksanakan kewajiban dan kesunatan atau keutamaan, meninggalkan larangan, menghindari perbuatan mubah (yang diperbolehkan) namun tidak bermanfaat, sangat berhati-hati dalam menjaga diri dari hal-hal yang tidak disenangi Allah dan yang meragukan (syubhat), sebagaimana orang-orang yang mengasingkan diri dari persoalan dunia dengan memperbanyak ibadah sunat pada malam hari, berpuasa sunat, dan tidak mengucapkan kata-kata yang tidak beguna. [dalam kitab Muroqil Ubudiyah fi Syarhi Bidayatil Hidayah Imam Ghazali]
Thariqoh yang dimaksud dalam pembicaraan ini lebih mengacu kepada peristilahan umum yang berlaku dikalangan umat Islam di seluruh dunia, khususnya warga NU, yakni semacam aliran dalam tasawuf (berbeda dengan mistik atau klenik) yang mengharuskan para pengikutnya menjalankan amalan peribadatan tertentu secara rutin –biasanya berupa bacaan atau wiridan khusus– yang dipandu oleh seorang guru atau mursyid. Hadits yang disebutkan di atas sekaligus menjadi dalil naqli diperbolekannya ajaran-ajaran thoriqoh.
Para murid yang mengikuti aliran thoriqoh tertentu sedianya berniat belajar membersihkan hati dengan bantuan guru atau mursyid mereka dengan cara menjalankan amalan-amalan dan doa-doa khusus. Jika mereka masih awam dalam masalah keagaman dasar seperti masalah wudlu, sholat, puasa, nikah dan waris, maka mereka sekaligus belajar itu kepada sang mursyid. Para murid berbai’at atau mengucapkan janji setia untuk menjalankan amalan-amalan thariqoh yang dibimbing oleh sang mursyid. Bai’at thariqoh adalah berjanji dzikrullah dalam bacaan dan jumlah tertentu kepada guru dan berjanji mengamalkan ajaran islam dan meninggalkan larangannya. Sebagaimana bermadzab atau mengikuti imam tertentu dalam bidang fikih, para murid tidak diperkenankan berpindah thoriqoh kecuali dengan pertimbangan yang jelas dan mampu melaksanakan semua amalan thoriqohnya yang baru.
Sementara itu sang mursyid wajib menyayangi, membimbing, dan membantu membersihkan hati murid-muridnya dari kotoran dunia. Mursyid harus memiliki sifat kasih sayang yang tinggi terhadap kaum muslimin, khususnya terhadap murid-muridnya. Ketika ia mengetahui mereka belum mampu melawan hawa nafsu mereka dan belum mampu meninggalkan kejelekan, misalnya, maka ia harus bersikap toleran. Setelah ia menasihati mereka dan tidak memutus mereka dari thoriqah, juga tidak mengklaim mereka celaka, melainkan senantiasa menyayangi mereka sampai mereka mendapatkan hidayah.
Demikian syarat seorang mursyid yang disebutkan dalam kitab Tanwirul Qulub. Mursyid harus arif dalam hal kesempurnaan hati, adab-adabnya, dan bersih dari penyakit-penyakit hati. Mursyid juga harus memiliki ilmu yang dibutuhkan oleh murid-murdnya, yaitu fikih dan aqa’id tauhid dalam batas-batas yang bisa menghilangkan kemusyrikan dan ketidakjelasan yang dihadapi oleh mereka di tingkat awal, sehingga mereka tidak perlu bertanya kepada orang lain.
Ada beberapa thoriqoh yang berkembang di Indonesia. Yang paling banyak pengikutnya, antara lain, Qodiriyah, Naqsabandiyah, Qodiriyah wan Naqsbandiyah, Syadziliyah. Dalam Muktamanya ke-26 di Semarang pada bulan Rajab 1399 H bertepatan dengan bulan Juni 1979 Nahdlatul Ulama meresmikan berdirinya Jam’iyyah Ahlit Thariqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah dan dikukuhkan dengan suat keputusan PB Syuriah NU Nomor: 137/Syur.PB/V/1980). Jam’iyyah ini beranggotakan beberapa thariqot di Indonesia yang mu’tabaroh dan nahdliyah.
Mu’tabaroh artinya thariqoh yang dimaksud bersambung ajarannya kepada Rasulullah SAW. Sementara Rasulullah menerima ajaran dari malaikat Jibril dan Malaikat Jibril dari Allah SWT. Nahdliyah maksudnya adalah bahwa para penganutnya selalu bergerak untuk melaksanakan ibadah dan dzikir kepada Allah SWT yang syariatnya menurut ahlussunnah wal jama’ah ‘ala madzahibil arba’ah (sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Sabahat Beliau dan disejalaskan oleh imam Madzab empat yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali).
Jam’iyyah Ahlit Thariqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah sering mengadakan perkumpulan untuk membahas persolan-persoalan keagamaan, khususnya berkaitan dengan thoriqoh. Jam’iyyah ini juga berfungsi untuk saling memberikan masukan dan sekaligus membedakan diri dengan aliran-aliran kebatinan yang tidak muk’tabar dan tidak berdasar pada ajaran Rasulullah SAW.
Para pengamal thoriqoh senantiasa menjauhkan diri dari kehidupan duniawi yang fana; membersihkan hati; mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sang mursyid dan murid-muridnya tidak diperkenankan menggandrungi harta benda. Juga kekuasaan. Ada satu hadits Rasulullah SAW yang menjadi pegangan para pengamal thariqoh. Ibn Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Di antara qari’ atau orang yang hafal Al-Qur’an dan memahami maknanya yang paling dibenci oleh Allah adalah qari’ yang mengunjungi umara (penguasa).”

Begitu bencinya mereka dengan ususan duniawi. Para pengkritik mengatakan bahwa thariqoh adalah sumber kemunduran umat Islam. Namun dengan penuh kebijaksanaan para pengamal thoriqoh menjawab bahwa para pengkritik belum merasakan betapa nikmatnya berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah Sang pencipta.

Dalam sebuah halaqoh, terjadilah diskusi antara guru dan para muridnya
mengenai kemuliaan ilmu. Salah seorang murid mengajukan pertanyaan
kepada sang guru, “Wahai guru, berikanlah alasan kenapa ilmu bisa
memuliakan seseorang yang memilikinya?”

Sang guru tersenyum lirih seraya menjawab, “Dari dirimu sendiri, engkau
bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu dan membuktikan bahwa
ilmu dapat memuliakan pemiliknya. Pada hakikatnya, engkau akan senang
ketika ada seseorang yang memujimu karena keluasan ilmu yang engkau
miliki. Demikian sebaliknya, engkau akan sedih dan marah ketika ada
seseorang mencela keterbatasan ilmu yang ada dalam dirimu”.

Mendengar jawaban sang guru, murid itu akhirnya dapat memahami
bahwa ilmu dapat mengangkat derajat seseorang. Artinya, orang yang
berilmu lebih tinggi derajatnya beberapa tingkat daripada orang yang tidak
berilmu.

Perlu diketahui bahwa tokoh sang guru dalam penggalan cerita di atas
adalah Imam Syafi’i, seorang ulama kenamaan yang benar-benar alim dan
mafhum mengenai substansi ilmu. Tentunya ini bukan hal yang
mengherankan karena jika kita telusuri sejarah hidupnya, maka kita akan
tahu bahwa beliau ini adalah seorang manusia yang menjalankan “ thalabul
‘ilmi minal mahdi ilal lahdi ” (menuntut ilmu dari buaian hingga liang
lahat).

Sehingga, dari beliau kita dapat menelusuri tentang sebab kemuliaan ilmu.
Dalam kitab Diwan Imam Syafi’i, beliau pernah berkata:
“Belajarlah! Karena tak seorang pun yang terlahir sebagai ilmuwan.
Seorang yang berilmu, tak sama dengan orang yang bodoh. Pembesar
suatu kaum jika bodoh, akan menjadi kecil saat pembesar berkumpul.
Orang kecil jika pandai, akan tampak besar saat berada dalam
perkumpulan.”

Sungguh dalam nasihat di atas yang telah dikemukakan oleh Imam Syafi’i,
menggambarkan bahwa kemuliaan ilmu tidak serta merta diraih secara
mudah dan singkat. Tapi, perlu adanya usaha dari sang pendamba ilmu
itu. Usaha yang dimaksud adalah belajar dengan giat dan tekun. Sejalan
dengan sabda Nabi: Uthlubul ‘ilma walau bis shin (tuntutlah ilmu sampai
ke negeri China).

Pada masa itu, China dianggap sebagai negeri yang paling jauh, sehingga
pesan yang dapat kita serap dari hadits Nabi di atas adalah “belajarlah
setinggi-tingginya, jangan kamu jadikan jarak suatu negeri dan negeri lain
yang berjauhan sebagai alasan yang membuatmu menyerah dalam
menuntut ilmu”.

Terkadang dalam upaya mencari ilmu, ditemukan kesulitan, rintangan,
serta “kegalauan” yang mengiringi para penuntut ilmu. Jika dikaitkan
dengan penyakit “galau” yang melanda anak muda jaman sekarang,
kegalauan yang sering dialami para pemuda di bangku sekolah adalah
menerima sikap yang tidak mengenakkan dari guru.

Mungkin, bagi mereka guru terlalu keras dalam mengajar, otoriter, tidak
demokratis, seenak’e dhewe, pilih kasih, dan lain sebagainya. Tapi,
janganlah semua itu dijadikan sebagai penghambat. Sebaliknya, jadikanlah
semua itu sebagai motivasi. Imam Syafi’i dalam kitab Diwannya berkata:
“Bersabarlah atas pahitnya sikap kurang mengenakkan dari guru, Karena
sesungguhnya endapan ilmu adalah dengan menyertainya. Barangsiapa
yang belum merasakan pahitnya belajar meski sesaat, Maka akan
menahan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya. Barangsiapa yang tidak
belajar di waktu mudanya, bertakbirlah 4 kali atas kematiannya. Eksistensi
seorang pemuda – Demi Allah – adalah dengan ilmu dan ketakwaan. Jika
keduanya tidak ada padanya, maka tidak ada jati diri padanya.”

Dari nasihat Imam Syafi’i di atas, ketika menghadapi sikap yang kurang
mengenakkan dari guru, kuncinya adalah sabar. Sebagaimana pepatah
Arab mengatakan “ man shabara dhafira ” (barangsiapa bersabar,
beruntunglah dia), ini juga sejalan dengan firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 45: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya keduanya itu sulit untuk dilakukan, kecuali bagi orang-orang
yang khusyu”.

Shalat di sini, maksudnya adalah do’a. Dalam menunjukkan shalat dan
sabar dalam ayat tersebut, digunakan kata ganti tunggal fainnaha bukan
fainnahuma. Ini menunjukkan keharusan menggerakkan shalat dan sabar
dalam satu gerakan kesatuan, tidak memisahkan diantara keduanya.

Kemudian, untuk menjadikan ilmu yang kita punya itu bernilai penuh
kemuliaan, maka amalkanlah ilmu itu sehingga bermanfaat bagi orang
lain. Nabi s.a.w pernah bersabda: “ Khairun naas anfa’uhum lin naas .

Sebaik-baik manusia adalah yang memiliki manfaat kepada manusia lain.”
Sehingga dengan ilmu, kita dapat memetik manfaat bagi diri sendiri
maupun orang lain yang ada di sekitar kita, sebagaimana pepatah Arab
mengatakan bahwa “al-‘ilmu bilaa ‘amalin kas syajari bilaa tsamarin”,
artinya adalah: ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon yang tidak
berbuah.

Selain belajar, bersabar dan berdoa, ada indikator lain yang perlu
diperhatikan dalam menuntut ilmu, yakni ikhlas. Sebagaimana Imam
Ghazali dalam Ihya Ulumuddin-nya pernah berkata: “Manusia pada
hakikatnya mati, kecuali orang yang alim. Orang yang alim walaupun hidup
pada hakikatnya tidur, kecuali orang yang mengamalkan ilmunya. Orang
yang mengamalkan ilmunya banyak yang tertipu, kecuali orang yang
ikhlas”.

Tepat apa yang dikatakan oleh Imam Ghazali, ikhlas adalah kunci utama
dalam menuntut ilmu dan menjadi tolak ukur seberapa tinggi kemuliaan
ilmu yang dimiliki oleh seseorang. Tanpa ikhlas, upaya belajar, bersabar,
dan berdoa yang telah dilakukan tidak akan ada artinya. Ikhlas juga
merupakan sebab kemuliaan ilmu yang dimiliki manusia di mata Allah.

Wallahu a’lam bis shawab.